RSS

Arsip Kategori: REFERENSI

KESEMBUHAN BATIN

Oleh : Bpk Pdt Sumiran

Dunia kita penuh dengan orang yang menyimpan luka-luka yang tidak kelihatan, sebagian besar berasal dari masa kecil mereka (karena disakiti),tetapi juga banyak yang terluka karena tekanan dan persoalan kehidupan yang dihadapi.
Alkitab berbicara secara khusus mengenai perlunya kesembuhan luka-luka emosional dan menggambarkan ini sebagai bagian dari proses pentahiran (Yesaya 53: 3). Kesembuhan disini juga dimaksudkan untuk membereskan kesalahan egoism kita maupun akibat dari sikap egois kita.
Manusia diciptakan Tuhan dengan unsur – unsur yang terdiri dari :
Roh : Intuisi, hati nurani dan komunis
Jiwa : Pikiran, perasaan dan kemauan
Tubuh : Panca indra (pendengaran, pengelihatan, penciuman, peraba, dan perasa

I. Tanda – Tanda Orang Yang Terluka
Perhatian Kolose 3:21, Ibrani 12:15, Amsal 18:19. Kita dapat mendeteksi apakah diri kita masih ada luka yang kita simpan baik-baik. Marilah kita lihat tanda-tanda berikut dan perhatikanlah apakah diri kita masih ada luka?
1. Tidak peduli terhadap orang lain (tidak bisa memperhatikan/mengasihi)
2. Perasaan yang terlalu sensitive /peka.
3. Kurang bisa / dapat bergaul (pemalu, takut, minder).
4. Menjauhkan diri dari pertemuan dengan orang yang masih baru.
5. Tidak tahu berterimakasih (2 Timotius 3 : 2) karena berfokus pada apa yang kita pikir seharusnya dilakukan untuk kita dari pada seberapa banyak yang sudah dilakukan untuk kita.
6. Menyenangi perkara yang sia-sia (1 Timotius 6 : 20; Efesus 5 : 4).
7. Sulit mengampuni orang lain (Matius 5 : 24, Matius 6 : 12,14-15).
8. Keras kepala dan tegar tengkuk (Yudas 16)
9. Keadaan Jiwa labil / mudah barubah –ubah)
10. Senang begaul dengan teman-teman senasib (1 Korintus 15:33, 2 Petrus 2:7, 8)
11. Suka mengkritik dan menghakimi orang lain (Roma 2:1)
12. Mudah frustasi dan stress, tidak memiliki daya tahan /iman yang kuat (Ayub 3:3-16 ; 10 :1-2, Yeremia 20 : 14-16, 1 Samuel 31:4-5, Matius 27 : 5, Efesus 6:1,2).
13. Tidak pernah merasa puas,kekosongan (Amsal 30 :15, 16, Mazmur 107 : 4-6, Yohanes 4 : 1-42)
14. Rendah diri
15. Sombong dan angkuh
16. Suka berbohong, berbelit –belit
17. Tertutup dan munafik /menggunakan topeng (Amsal 18 : 1-4)

II. Akibat Luka-Luka Batin
 Luka batin yang mengenai pikiran dapat menyebabkan seseorang menjadi gila.
 Luka batin yang mengenai perasaan /emosi dapat menyebabkan seseorang menderita berbagai penyakit berbahaya seperti : kanker, tumor, jantung, tekanan darah tinggi, dll.
 Luka batin mengenai kemauan dapat menyebabkan seseorang menjadi pemberontak, pembuat masalah / tidak bisa diatur.
 Bunuh diri, bunuh diri berasal dari perasaan tertolak, sehingga dia merasa tidak ada orang yang mau menerima dirinya, hal ini menyebabkan merasa kesepian, kesepian yang mendalam akan menimbulkan kesedihan, akhirnya timbul belas kasihan terhadap diri sendiri. Karena terlalu berat bebannya akhirnya menjadi depresi kemudian putus asa dan akhirnya bunuh diri

III. Penyebab Luka- Luka Batin
Ada 4 (emapat ) prkara yang menyebabkan jiwa seseorang itu terluka yaitu :
1. Tertolak dari orang tua
 Anak lahir tidak sesuai dengan keinginan orang tua
 Belum siap untuk mempunyai anak, tetapi terlanjur mengandung
 Hamil sebelum menikah
 Ibu hamil, suami serong (ada roh perzinahan)
 Keluarga miskin anak banyak
2. Kurang kasih sayang dari orang tua (Amsal 29 : 17)
 Orang tua meninggal sewaktu masih kecil
 Kasih orang tua tidak merata
 Keluarga Broken Home
 Orang tua sibuk mencari uang
3. Di lukai oleh orang tua (Korintus 3 :21, Efesus 6 :4, Amsal 15:4, 13:24, 23:13-14)
 Bapak yang mengumbar janji dan tidak di tepati
 Bapak yang tidak bertanggung jawab
 Bapak yang otoriter/sadis
4. Dimanjakan oleh orang tua (Ibrani 12:5,6;89:15 ; 1 Raja-raja 1:5-6 ; Mazmur 32:5)
 Lama menantikan seorang anak/anak lahir ketika usia orang tua sudah tua (Yusuf)
 Sering sakit waktu masih kecil ——- Anak nazar
 Tidak pernah dapat teguran meskipun salah
 Anak Tunggal - Menang sendiri

IV. Pemulihan Luka –Luka Batin

Berikut ini merupakan kunci untuk mengalami pemulihan dari setiap luka batin kita :
1. Keterbukaan
Keterbukaan tertutup

– Yakobus 5:6 – Mazmur 147 : 3 – Lukas 15 : 17 : 31
– Amsal 28 : 13 – Mazmur 32 :5 – Mazmur 51 : 1 – 8

 Terbuka ———-Menelanjangi pekerjaan iblis dengan segala tipu dayanya (Yakobus 5 : 16, Amsal 6 : 32 -33)
 Terbuka———–Mematahkan kuasa iblis
 Keterbukaan—–Memberi tempat bagi Firman Tuhan berkarya (Yohanes 11:1 44), Wahyu 3 : 20)
 Keterbukaan membuat kita memperoleh jawaban didalam hidup kita (1 Raja-raja 10:1-3)

1. Mengampuni (Matius 6 :1,14,15 ; Matius 5 : 23 -25)
Dengan bagaimana kita mengampuni
 Berdoa bagi orang – orang yang pernah melukai jiwa kita
 Mintalah didoakan hamba Tuhan untuk mencabut akar pahit (Matius 16 :19, Yesaya 6:1)
2. Pemulihan hubungan bapa dan anak
– Maleaki 4 : 5,6
– Yohanes 3 : 35, 5 :20 – Mazmur 103 :13
– Lukas 15 : 20 -24

 Yesaya 49 : 15 -16
 Mazmur 27 :10
 Ulangan 27 : 24
 Mikha 6 :7
 Mazmur 139 : 13 -16

 
1 Komentar

Ditulis oleh pada 24 September 2009 inci REFERENSI, RENUNGAN

 

Tag: , , , , ,

SEJARAH PENEBUSAN

Angin penebusan terus bertiup sepanjang waktu tak terhentikan oleh ketidak setiaan. Manusia atau penghakiman Allah Sementara umat Israel mempersembahkan korban-korban sebagai gambaran korban yang akan datang, Allah bersiap untuk mengutus anak-Nya untuk menggantikan tempat seluruh umat manusia melalui kematian-Nya, sehingga mereka dapat diperdamaikan sepenunya di tebus dan di pulihkan ke tempat yang Allah maksudkan bagi manusia untuk hidup pada saat penciptaan dalam persekutuan dengan-Nya.
Kita hidup dalam zaman Anugrah dimana rencana penebusan dan keslamatan dinyatakan lewat pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Bukan lagi dara binatang yang di tumpahkan tetapi darah Anak Domba Allah yang suci yang di curahkan untukk menebus kita semua. Yohanes 1: 16 – 17 berkata : karena dari kepenuhan –Nya.
Apa itu anugrah ? Anugrah merupakan pernyataan kasih dan perlindungan Allah secara Cuma-Cuma bagi para pendosa yang tak layak.Anugrah adalah sesuatu yang anda tak layak menerima tetapi oleh kasih Allah yang tiada hentinya, ia menyatakan anugrah itu kepada kita.
Zaman anugrah mulai dengan khotbah Yohanes pembaptis dan akan terus berlanjut sampai kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali kita tidak tau berapa lama zaman ini akan berakhir tetapi kita tahu itu tak akan berakhir sampai gereja di angkat dari bumi ini pada hari pengangkatan nanti .
Yohanes pembaptis mengkhotbah kerajaan Allah dan Kristus mengkhotbahkan Injil ke seluruh Yerusalem dan Yudeah . Di Kalvari Yesus mengalahkan setan kematian-Nya membahwa kabar keselamatan bagi siapa saja yang melaluinya, apakah ia orang yahudi atau kafir pria atau wanita hamba atau orang merdeka lima puluh hari sesudah itu Yesus naik ke surga Roh kudus turun pada hari pentakostah dan memperlengkapi para pemercaya untuk menyebar Injil ke seluruh dunia.
Pada zaman anugrah, Allah memiliki satu tujuan dengan tiga maksud: untuk menyelamatkan semua orang percaya untuk memanggil suatu umat baginya, dan membangun gereja. Bersiapla untuk menikmati Anugrah-Nya.Amin………

oleh Bpk Nobel Forno disampaikan Pada Retreat Mahasiswa XX,

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 24 September 2009 inci REFERENSI, RENUNGAN

 

Tag: , , , , ,

Nasionalisme yang Mulai Luntur

Seluruh komponen bangsa kini merasakan, saat ini terjadi penurunan kadar nilai-nilai nasionalisme, cinta tanah air, bela negara dan militansi kebangsaan di dalam berbagai kehidupan dan lapisan masyarakat. Lemahnya kemampuan bangsa Indonesia untuk berkompetisi, karena tidak memiliki keunggulan kompetitif yang memadai. Kini masyarakat Indonesia harus banyak belajar dari beberapa kejadian belakangan ini yang menunjukkan lemahnya posisi tawar sebagai bangsa. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah pencegahan terhadap proses erosi dan degradasi rasa kebangsaan tersebut. Read the rest of this entry »

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 15 September 2009 inci KARYA TULIS, REFERENSI

 

Tag: , , , , , ,

Karakter dan Reputasi

Lingkungan tempat Anda hidup menentukan reputasi Anda
Kebenaran yang Anda yakini menentukan karakter Anda
Reputasi mengharapkan Anda menjadi seperti siapa
Karakter adalah siapa Anda sebenarnya
Reputasi adalah foto,
Karakter adalah wajah,
Reputasi datang dari luar,
Karakter tumbuh dari dalam
Reputasi adalah apa yang Anda miliki ketika tiba disuatu komunitas baru
Karakter adalah apa yang Anda miliki ketika Anda pergi
Reputasi Anda terbentuk dalam sesaat
Karakter Anda dibangun seumur hidup
Reputasi Anda dipelajari dalam sejam
Karakter Anda tidak terlihat selama setahun
Reputasi tumbuh seperti jamur
Karakter bertahan abadi
Reputasi membuat Anda kaya miskin
Karakter membuat Anda bahagia atau menderita
Reputasi adalah apa yang orang katakan tentang Anda di batu nisan
Karakter adalah apa yang malaikat katakan tentang Anda di hadapan tahta Allah

Oleh William H. Davis via Zandy keliduan

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 2 September 2009 inci CUCI OTAK, REFERENSI, RENUNGAN, SEBAIKNYA ANDA TAU!

 

Tag: , , , , , , , , , ,

TRITUNGGAL MASUK AKAL ?**

Doktrin Trinitas – doktrin bahwa satu Tuhan adalah tiga pribadi berbeda namun sama-sama ilahi – berdiri di tengah pengakuan Kristen. Memang, doktrin ini telah lama diakui sebagai batu fondasi ortodoksi Kristen, dan idealnya juga detak jantung kesalehan Kristen. Tapi meskipun demikian, hal ini juga mewakili apa yang tampak sebagai sebuah misteri terbaik, dan sebuah kontradiksi langsung pada yang terburuk. Dan ini membawa kita kepada sebuah dilema yang harus menangkap perhatian setiap orang Kristen yang serius.

Jadi apa sebenarnya masalahnya? Jawabannya sederhana, langsung, bahkan jelas: satu tidak sama dengan tiga. Tentunya kita semua dapat sepakat tentang hal itu. Akan tetapi, orang Kristen di seluruh dunia tampaknya senantiasa membaurkan kebijaksanaan dasar ini. Masalahnya ditangkap dalam baris-baris dari kredo Athanasia (500 Masehi):

(3) Dan iman katolik adalah ini: Bahwa kita menyembah satu Allah dalam Tritunggal, dan Tritunggal dalam Kesatuan;

(15) Jadi Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah, dan Roh Kudus adalah Allah

(16) Namun mereka bukan tiga Allah, tetapi satu Allah.

Pengakuan yang sangat saleh. Satu-satunya masalah adalah semua tampaknya tidak masuk akal. Pertimbangkan suatu analogi. Jika sebuah Gremlin (merek mobil) adalah milik saya, dan sebuah Pacer adalah milik saya dan sebuah AMX milik saya, maka saya punya tiga mobil, bukan satu. Ketika berkaitan dengan doktrin tentang Tuhan kita mengakui bahwa Bapa adalah Allah, Anak adalah Allah dan Roh adalah Allah. Jadi tentunya harus mengikuti logika yang sama: harus ada tiga tuhan, bukan satu.

Namun hanya ada satu, dan mereka berbeda, dan … ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa satu sama dengan tiga?

Sementara kontradiksi yang nyata itu mungkin mengganggu, di sini adalah bagian yang benar-benar mengecewakan: sementara banyak orang Kristen memiliki pengertian yang samar-samar bahwa doktrin Tritunggal menyembunyikan sebuah kontradiksi, mereka tidak benar-benar peduli. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, mereka sering menyelimuti kurangnya perhatian mereka dalam selubung tipis kesalehan dengan mengklaim bahwa cara Tuhan lebih tinggi daripada cara kita, seolah-olah itulah akhir percakapan.

Namun, saya rasa itu tidak harus berakhir. Tentu saya setuju bahwa kita tidak akan pernah mengerti segala sesuatu tentang Tuhan, tetapi di sini kita tidak berbicara tentang segala hal. Sebaliknya, kita sedang berbicara tentang mencari koherensi bagi pengakuan paling mendasar kita tentang siapa Tuhan itu. Itu sama sekali bukan bodoh, upaya congkak untuk mengetahui pikiran Tuhan melalui akal murni.

Pikirkan hal ini dalam hal aturan emas. Jika seorang Muslim, atau seorang Hindu, atau seorang ateis mengusulkan sesuatu yang tampaknya bertentangan secara langsung dengan keyakinan anda, anda tidak akan mengangguk dalam kesalehan mistis dan merangkul misteri yang tidak terpahami. Sebaliknya, Anda akan menuntut suatu pembelaan, penjelasan. Jadi mengapa Muslim, Hindu, atau atheis mengharapkan sesuatu yang kurang dari kita?

Sama pentingnya dengan masalah makna dan dasar apologetika, ada isu lain yang juga dipertaruhkan di sini, dan ini merupakan isu kesalehan. Jika pengakuan tampaknya bertentangan secara langsung, maka tidak mungkin benar seperti disebutkan. Jadi mencari penjelasan tentang bagaimana Tuhan adalah satu sama dengan tiga tidak sesederhana pencarian untuk menjelaskan teka-teki matematika atau keheningan yang skeptis. Yang paling penting, ini adalah upaya untuk lebih mengenal Tuhan. Dan saya berpikir bahwa ini adalah sebuah pencarian yang cukup bernilai untuk waktu dan usaha yang kita berikan.

________________________________________________________________________________

** Oleh Randal Rauser yang adalah profesor sejarah teologi di Seminari Taylor, Edmonton, Kanada ia diberikan penghargaan pendidikan tahunan Taylor untuk “Jasa yang Luar Biasa kepada Mahasiswa” pada tahun 2005.

 
4 Komentar

Ditulis oleh pada 31 Agustus 2009 inci BERITA, INFO UMUM, REFERENSI, SEBAIKNYA ANDA TAU!

 

Tag: , , , , , , , , , , , , ,

RESIKO PACARAN (PUTUS CINTA & PATAH HATI)

:: PMK uncen :: Salah satu risiko pacaran adalah putus cinta seperti yang Anda alami. Apalagi jika sudah berpacaran lama dan cinta telanjur mendalam. Namun dibalik semua ini kami percaya Tuhan tidak meninggal¬kan Anda. Ia ada di dekat Anda untuk me¬nolong. Ia rindu menguatkan dan menghibur Anda. Mazmur 34:19 berkata:”TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang patah hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya.”
Kita semua tentunya pernah meng¬alam¬i sakit hati. Pada saat seperti ini janganlah Anda bertanya: di mana Tuhan. Mengapa Ia biarkan Anda sendiri? Ia ada di dekat Anda. Ia sangat terikat dengan firman-Nya! Sapalah Ia. Berbicaralah dengan-Nya. Cobalah untuk mengobati luka hati Anda dengan:

1. Bersyukur atas apa yang telah terjadi.

Ingatlah bahwa Ia mengetahui semua yang Anda alami. Walaupun saat ini Anda sulit mengucap syukur, berusahalah melakukannya. Semua jalan manusia lurus dalam pandangannya sendiri. Namun Allah tahu apa yang ada di balik tikungan jalan kita. Percayalah bahwa apa yang terjadi adalah seizin Dia! Kita hanya melihat satu langkah di depan, Allah melihat sejuta lang¬¬kah di depan kita. Teruslah berkata bahwa Ia tahu what’s best for me! Salah satu tanda kedewasaan hidup rohani adalah bila Anda dapat belajar mengucap syukur atas segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini.

2. Relakan kepergiannya.

Ini adalah cara paling cepat untuk menyembuhkan luka hati. Berdoalah agar ia bahagia dan diberkati baik secara jasmani maupun rohani! Mungkin pada awalnya sulit karena ada pertentangan batin. Namun teruskan untuk mendoakan dia. Berdoalah juga untuk diri sendiri. Katakan kepada Tuhan bahwa Anda telah merelakan dia pergi. Sesudah itu perintahkan hati dan pikiran Anda untuk merelakan kepergiannya. Dengan begitu proses kesembuhan akan segera bekerja dalam diri Anda. Mengapa? Karena sebenarnya Anda sedang belajar mengampuni. Tuhan pasti senang dengan hal ini dan akan menyembuhkan luka batin Anda.

3. Bersyukurlah karena ini terjadi saat Anda masih pacaran.

bayangkan jika setelah Anda menikah dengannya, tiba-tiba ia pergi membawa seluruh pakaiannya dan hanya meninggalkan sepucuk surat singkat permohonan maaf karena telah meninggalkan Anda! ¬Itulah sebabnya kami mendorong Anda untuk meyakinkan diri, lebih baik ini terjadi sekarang daripada nanti! Anda juga harus merasa beruntung karena telah mengenal kualitas cintanya saat ini, dibanding baru tahu belakangan! Jadi, percayalah bahwa Allah sedang melakukan yang terbaik dalam hidup Anda. Kami mempunyai satu prinsip penting tentang hidup: Allahlah yang mengatur dan me¬ngontrol kapan manusia lahir, dengan siapa ia menikah dan kapan ia mati. Setiap orang yang takut akan Tuhan pasti mengalami tangan kasih Allah dalam hal ini.

4. Berjalanlah dengan iman.

Tuhan pasti akan memberi seseorang yang terbaik kepada Anda. Ini mungkin terjadi karena dulu Anda langsung pacaran tanpa bertanya pada Tuhan. Bisa juga karena karakter Anda belum terbentuk. Tenang saja! Percayalah bahwa Tuhan pasti telah menetapkan seorang yang spesial dan tepat bagi Anda. Jalani lagi hidup dengan baik. Be good at whatever things you do! Saat Anda menemukan pasangan yang tepat, maka Anda dengan sangat bersukacita akan berkata, “Thank’s a lot God! You’re Great!” Ingat apa yang Ia janjikan dalam firman-Nya, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap orang yang mengasihi Dia” (Rm. 8:28)

Bagaimana Mengobati Patah Hati?

Sulit dipercaya saat Anda harus berpisah dengan pria impian Anda atau wanita yang sempurna. Tanpanya, Anda merasa tidak ada lagi kebahagiaan dalam hidup Anda. Saat itu luka yang timbul nampaknya hampir tak tertahankan. Sungguh tak tertahankan sampai-sampai ada orang yang mengatakan seseorang bisa mati karena patah hati.
Saya bukanlah dokter, tapi saya sangat yakin bahwa hal ini tidak mungkin terjadi (setidaknya 99,5%). Pada kenyataannya, saya tidak tahu seberapa banyak orang yang meninggal karena penyakit jantung, dan setiap orang yang saya kenal, termasuk diri saya sendiri, setidaknya memunyai satu episode di mana dia merasakan rasa sakit dalam menjalani hidupnya. Percaya atau tidak, mereka yang bisa bertahan, bisa melakukan hal-hal yang lebih baik dari yang pernah mereka pikirkan sebelumnya.
Jadi, sebenarnya apa kunci untuk mengobati patah hati dengan cepat? Kuncinya adalah pil ajaib! Benar, pil ajaib. Pil ini melepaskan hormon-hormon tertentu dalam otak Anda yang menimbulkan luka hati. Apakah Anda ingin membelinya? Bila Anda ingin membelinya, saya rasa Anda benar-benar perlu ditolong. Tetapi kadang-kadang kebenaran itu memang menyakitkan — tidak ada sesuatu apa pun yang dapat menyembuhkan luka hati dengan cepat. Meski demikian, ada beberapa hal yang bisa Anda gunakan untuk memulihkannya, yaitu waktu, keluarga, teman-teman, dan di atas semuanya itu adalah Yesus (dan juga sedikit coklat).

1.Waktu.

Pernahkan Anda mendengar ungkapan, “Waktu menyembuhkan semua luka?” Percaya atau tidak, ungkapan ini benar. Waktu bisa menyembuhkan luka, penyakit, penolakan, dan bahkan penyakit jantung. Berikan waktu untuk diri Anda sendiri, maka luka akan berkurang. Seiring dengan berjalannya hari, rasa tidak ada harapan itu sedikit demi sedikit akan berkurang dan Anda akan lebih optimis terhadap masa depan. Percayalah, saya sudah pernah mengalami ini.

2. Keluarga.

Keluarga yang telah Tuhan berikan kepada Anda adalah suatu anugerah (dan bagi beberapa orang, merupakan anugerah yang tersamar). Mereka selalu ada di samping Anda dan saat seseorang melukai Anda, sudah pasti orang itu menjadi musuh Anda! Keluarga memang luar biasa, meskipun Anda tahu bahwa Andalah yang salah, di mata keluarga Anda, “orang lain”lah yang selalu disalahkan. Anda tidak akan menemukan dukungan yang seperti ini dari orang lain, bahkan dari teman Anda, karena teman-teman cenderung melihat segala sesuatunya secara objektif (siapa yang benar, itu yang diikuti), sedangkan keluarga sangat mengasihi Anda, mereka tidak melihat kesalahan yang telah Anda lakukan. Oleh sebab itulah mereka selalu melindungi Anda. Bahkan kadang-kadang saat Anda tidak mengharapkannya sekalipun.

3 .Teman-teman.

Seorang sahabat baik adalah suatu aset yang sangat berarti, khususnya di saat-saat yang sulit. Sahabat bisa membuat Anda tertawa dan melupakan saat-saat yang membuat Anda terluka, bahkan saat Anda merasa seperti berkubang dalam pengasihan diri sendiri. Tuhan telah memberi Anda teman-teman sebagai anugerah dengan tujuan untuk membuat Anda merasa ada yang memiliki, bahwa Anda diperlukan. Sehingga Anda tidak dikurung oleh rasa putus asa yang membatasi Anda untuk melakukan sesuatu. Anda bisa mendapatkan penghiburan dan hal-hal yang jenaka dari teman-teman Anda, yang kemudian bisa membalut hati Anda yang sedang terluka.

4. Yesus.

Dari semuanya itu, yang bisa menyembuhkan luka yang Anda alami karena patah hati adalah doa. Yesus selalu ada meskipun Anda tidak memiliki keluarga atau teman-teman yang bisa membuat Anda tenang. Yesus adalah keluarga dan teman Anda. Dia yang menenangkan Anda saat Anda menghadapi masalah dan Dia selalu ada untuk Anda kapan saja. Doa yang terus dipanjatkan kepada-Nya supaya Dia memimpin Anda melalui masa sulit ini akan menguatkan Anda, tidak hanya secara emosi, tetapi juga rohani.

” BELAJAR UNTUK MENGAKUI ADANYA KENYATAAN HIDUP ”

 
21 Komentar

Ditulis oleh pada 20 Agustus 2009 inci CUCI OTAK, KARYA TULIS, REFERENSI, TENTANG ALKITAB

 

Tag: , , , , , , , ,

MAKANAN BERGIZI

Apakah Gizi itu ?

Gizi atau nutrisi adalah zat makanan yang diperlukan makhluk hidup. Gizi dapat mempertahankan proses penting dalam tubuh, seperti bernafas,  mempertahankan suhu tubuh, menghasilkan energi untuk berbagai proses dalam tubuh, dan mengeluarkan berbagai zat sisa atau racun dalam tubuh. Zat makanan dalam bentuk energi memberikan kemampuan pada kita untuk dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari.

Jika kita tidak mengonsumsi makanan atau minuman bergizi, kita dapat ,mengalami pengeroposan tulang (kekurangan kalsium), gusi berdarah (kekurangan vitamin C), atau gangguan pengangkutan oksigen di darah ke setiap sel (kekurangan zat besi). Jadi, masalah gizi atau nutrisi, sama dengan masalah mengapa kita makan, apa yang kita makan, dan Read the rest of this entry »

 
 

Tag: , , , , , , , , , , ,

AKIBAT MENGADAKAN HUBUNGAN SEKS SEBELUM PERNIKAHAN**

PMKuncen :: Seks berasal dari Allah dan diberikan kepada manusia dengan tujuan untuk dinikmati dan mengusahakan keturunan dalam perkawinan. Hal itu berarti bahwa seks harus dilakukan sesuai dengan kehendak Allah, dimana seks hanya dapat dilakukan dimana seks hanya dapat dilakukan oleh suami-isteri yang sah (I Korintus 7:1-5).
Hubungan seks di luar pernikahan sama sekali tidak dibenarkan, melanggar Firman Allah, hukumnya berzinah dan dosa (Keluaran 20:14) patut dihukum, mereka tidak mewarisi kerajaan Allah.

Menurut Robert J. Miles dalam bukunya, Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks di katakannya: ada banyak akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan seks sebelum pernikahan, antara lain:
1. Akhirnya mereka memaksakan diri untuk cepat-cepat menikah, untuk menghindarkan si bayi dari istilah “Anak Haram”. Jelasnya menanggung resiko besar, merasa malu dengan masyarakat karena pernikahan ini sudah diawali dengan penyimpangan norma-norma perkawinan. Jika para pemuda-pemudi tidak hati-hati dalam mencari dan menetapkan cara hidupnya, mereka akan menjadi korban seumur hidup, dan tidak lepas dari bahaya “Habis Manis Sepah Dibuang”.
2. Anak mereka akan diadopsi oleh pengadilan kepada pasangan yang telah menikah, ini berarti kedua orang tua bebas tanggung-jawab terhadap anak, karena anak tersebut sudah diserah kepada orang lain untuk mengasuh, mengganti kasih dan pemeliharaan. Bukankah hal ini berarti menghilangkan hak seorang anak untuk menuntut kepada orang tuanya sebagai darah daging sendiri.
3. Banyak kali terjadi “Pengguguran atau Aborsi” terhadap bayi yang dikandung karena mereka takut dikeahui oleh oran tua, keluarga, teman, tetangga takut kepada semua orang dan merasa bersalah. Mereka tidak memperhitungkan bahaya pengguguran yang dilakukan, baik oleh dokter maupun dukun, dan bahaya psikologis. Manusia tidak berkuasa atas diri sang bayi. “Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan didalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya”(Mazmur 139:13,16).
4. Akibat lainnya, seorang ibu yang belum menikah terpaksa harus mengurus sendiri anaknya dengan terus-menerus. Bebannya bertambah, mencari nafkah, mengurus keluarga dan anak. Belum tahu apa jadi kelak jika anaknya sudah menjadi dewasa dan belum pernah melihat ayahnya. Banyak masalah yang harus dihadapi.
Jadi, hubungan seks di luar pernikahan adalah sikap yang kurang bertanggung-jawab dan tidak terpuji, dengan kata lain merampas, mencuri, memperkosa milik orang lain, melakukan yang tidak hormat, tidak sopan, keji, najis dan berdosa. Untuk menghindari terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut, perlu perhatian orang tua terhadap sang gadis atau jejaka dalam mempersiapkan pernikahan dan hidup keluarga bagi anaknya. Biasanya lebih mudah melepasbebaskan sang ank dari pada melepas binatang piaraan yang dirawat sedemikian rupa dan tidak mengetahui apa yang sedang dilakukan oleh anaknya di luar pergaulan bebas tanpa kontrol, yang hidup melebihi binatang liar.
Orang harus turut bertanggung-jawab, kalau sang calon menantu sudah tidak mengindahkan dan menghormati orang tua, lebih bik jangan diterima. Apalagi selalu membujuk-rayu dan menipu. Tidak perlu kompromi dengan dosa. Lebih baik kehilangan sang pacar dari pada kehilangan kewibawaan orang tua dan diri sendiri di pandangan masyarakat.

Bagaimana seharusnya sikap kita pada masa pacaran,??
a) Saling menghormati. “Kenakanlah Tuhan Yesus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuh untuk memuaskan keinginannya”(Roma 13:14).
b) Setia kepada Tuhan dan rajin membaca Firman-Nya sebagai perjanjian bagi umat-Nya dan berdoa dengan penuh penyerahan bagi hidup di masa mendatang. Ia akan membuat hidupmu berhasil (Yosua 1:8).
c) Sementara berpacaran janganlah mengharapkan hal-hal seperti ciuman tiap saat, gesekan tubuh yang menimbulkan rangsangan kosong dan menimbulkan hawa nafsu yang akan menjatuhkan kehidupan rohani dan menjauhkan diri kita dari persekutuan dengan Tuhan.
d) Berusaha menghindari pikiran yang negatif dan memikirkan apa yang suci dan baik bagi pemandangan Allah (Filipi 4:8).
e) Membatasi waktu berpergian berdua dan menjauhi tempat yang sepi. “Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” (I Korintus 15:33).

**Oleh : Ungkhe_Excited
blessingmeukisi.blogspot.com
ath_groovy@yahoo.co.id

 

Tag: , , , , , , , , , ,

PROBLEMA BERPACARAN DAN PEMECAHANNYA **

Naluri berpasangan dengan yang lain jenis alias berpacaran merupakan keinginan yang luhur yang diciptakan Allah, karena itu harus didasari dengan maksud yang sungguh-sungguh hendak melanjutkannya kemaligai pernikahan, membentuk rumah tangga yang sesui dengan kehendak Ilahi. Jadi bukan coba-coba atau karena malu dengan teman yang sudah memiliki pasangan lebih dahulu.

Sekalipun begitu, janganlah berpikir bahwa dengan modal “cinta”, percintaan akan berjalan dengan mulus, indah tanpa persoalan. Jika itu yang menjadi landasan keinginan luhur anda, pasti tidak lama hubungan itu akan retak. Hubungan seperti ini dapat dilukiskan bagaikan mendirikan menara di atas pasir, sekalipun memiliki selera tinggi, indah, dengan bayangan yang gemerlapan, sebentar akan roboh apabila angin menerpanya.

Pemuda-Pemudi yang hendak atau sedang bepacaran harus mulai memikirkan tantangan awal yang akan dihadapi. Contohnya: mungkin orang tua tidak menyetujui; calon pacar anda berbeda keyakinan; ia berasal dari suku lain; bagaimana menghadapi adat-istiadat masing-masing; usia berbeda jauh-lebih tua atau lebih muda; dia anak orang kaya atau miskin, terhormat atau pegawai rendahan; dapatkah dia nanti meluangkan waktu untuk mengadakan pertemuan-pertemuan di luar rumah; sudah bekerja atau masih menganggur; ia masih bergantung pada orang tua, masih kuliah sambil bekerja; termasuk malas atau giat, pandai atau bodoh, memiliki latar belakang baik atau buruk. Kita wajib mengetahui seluruhnya, bukan bermaksud mencari, namun menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dan penyesuaian semasa masih berpacaran. Tidak hanya berkata “mau”, “oke”, menerima begitu saja dan tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan persoalan yang akan muncul dalam pernikahan.
Setiap orang tentu menginginkan pasangan dan keluarga yang ideal, hal itu perlu ditanamkan dengan betul dalam hati kedua belah pihak, sebab yang ideal tidak begitu saja datang setelah keduanya turun dari pelaminan, atau dibentuk dalam tiga bulan sementara berbulan madu. Justeru setelah turun dari pelaminan anda akan melihat hal-hal yang tidak ideal, karena yang ideal masih dalam sifat masing-masing untuk disatukan dalam puluhan tahun hidup pernikahan anda. Jadi, pasangan muda-mudi yang dikatakan ideal adalah mereka yang melanjutkan dalam pernikahan dan berani menghadapi tantangan dan tidak nikah lagi sampai keduanya di panggil Tuhan. Sebab keduanya saling mempertahankan derajat pernikahannya di depan umum serta keluarganya sendiri.

Problema yang sering menjadi hambatan bagi pasangan mudi-mudi yang bermaksud untuk menikah, baik hambatan itu dari keluarga maupun diri sendiri, dari lingkungan atau orang lain, seperti beberapa poit di bawah ini:

a. Tidak disetujui atau direstui oleh Orang Tua.
Banyak kasus bunuh diri antara pemuda-pemudi yang sedang dimabuk asmara. Mereka mencari jalan pintas lantaran orang tua atau salah dari kedua orang tua tidak merestui hubungan mereka. Tidak sedikit pula yang mengambil jalan sendiri menikah di kota lain tanpa diketahui orang tua alias kawin lari. Ada pula yang memaksa orang tua untuk merestui hubungan dan pernikahan anaknya, karena alasan macam-macam menurut keinginannya, atau bahkan sudah kecelakaan (Marriage By Accident) akibat semau gue.
Bagaimana kalau anda sendiri yang menghadapi problema ini. Kalian harus perlu membaca dan merenungkan Firman Tuhan sebagai kompas rencana ini. “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan” (Kolose 3:20). Sebab itu jangan takut atau malu minta ijin orang tua, sekalipun mereka tidak memiliki kekayaan yang cukup, bukan pejabat tinggi, bukan tergolong orang pandai, bahkan dianggap masih kuno. Mereka perlu dihormati, bahkan merasa bangga jika anaknya bisa menikah dengan orang lain yang lebih terhormat, setidaknya mengangkat derajat keluarganya sendiri. Mereka perlu dihormati karena sedikitnya sudah memiliki pengalaman dalam berkeluarga.
Jadi, kalau oran tua melarang hubungan kalian, tentu ada alasan. Perlu bertanya pada diri, Mengapa.?? Mungkin anda belum pernah menceritakan perihal pacar anda secara terbuka, sehingga orang tua tidak tahu hal-hal yang baik dalam diri si dia, mengapa anda sendiri mengambil dan mencintai si dia. Mungkin juga sebaliknya, orang tua lebih tahu tentang keluarga, latar belakang serta kehidupan, sifat-sifat kekasih anda daripada anda sendiri. Lebih baik menceriterakan secara terbuka dan sekaligus minta restu, agar orang tua turut memperhatikan, akrab, jika berdua bertandang ke rumah orang tua masing-masing mereka dapat menyambut lagi bukan seperti orang lain, melainkan sudah menjadi seperti keluarga sendiri.
Satu pertanyaan yang harus dijawab, bolehkah menolak nasihat, saran orang tua sehubungan dengan tidak disetujuinya hubungan anda. Boleh saja anda menolak jika hal itu tidak sesuai dengan Alkitab. “Hai anak-anak, taatilah orang tua di dalam Tuhan, karena haruslah demikian “(Efesus 6:1). Mengapa Alkitab harus menjadi landasan utama dalam pernikahan. Dengan menikah Tuhan mengharapkan kehidupan rohani kita menjadi lebih baik, bertaumbuh dan berkembangan secara harmonis.

b. Perbedaan Suku, Adat, dan Agama.

Tidak ada Undang-Undang yang melarang perkawinan dengan lain suku, kendatipun masih ada jejaka atu gadis enggan berpacaran dengan lain suku, karena masih terikat adat, kebudayaan, silsilah (Fam). Tidak sedikit yang membedakan warna kulit, begitu pula sifat. Karena salah menafsirkan maka orang yang berkulit hitam dikatakan berwatak keras, kasar, sebaliknya yang berkulit putih itu lembut, bersih, padahal sama saja tergantung bagaimana pendekatannya. Katajanlah seperti buah manggis memang nampak kasar, keras dan pahit dilihat dari luar, tapi isinya manis.
Jadi, yang lebih utama bukan soal perbedaan latar belakang melainkan kontak batin, cinta kasih dan kecocokan, karena hidup kekeluargaan harus dinikmati.

Kita juga harus menaati Firman Tuhan, bahwa terang dan gelap tidak akan dapat bersatu (sejodoh). Jadi, janganlah menikah dengan orang yang belum bertobat kalau ingin rumah tangga menjadi baik. Kalau belum mengenal Tuhan baiklah tunggu sampai si dia bertobat, lebih baik jangan mengikat hubungan atau berjanji sebelum anda melihat perubahan pertobatan atau percaya.
Jadi, kalau masalah perbedaan latar belakang masih membuat diri anda ragu dan perbedaan keyakinan masih menjadi permasalahan yang serius, maka sebaiknya anda bersikap dewasa dan obyektif serta berdoa dengan sungguh-sungguh mohon pimpinan Tuhan, sampai anda mendapatkan pengertian dan pasangan mantap, cocok, dan setia kepada Tuhan.

c. Perbedaan Usia.
Perkembangan zaman telah menuntut wanita turut menyingsingkan lengan, sibuk dalam studi, karier dan cita-cita, sampai tak ada waktu lagi untuk bergaul dan memikirkan kepentingannya sendiri. Ketika sudah berhasil, memiliki kekayaan yang cukup, kedudukan lumayan baru, sadar masih ada yang kurang. Segala sesuatu yang diperolehnya terasa tak ada artinya karena dia belum menikah. Ia mulai memasang aksi, sayang sedikit terlambat. Umur tak dapat dikurangi bahkan semakin bertambah. Ia semakin kalut bila mendengar temannya sudah melahirkan. Akhirnya tancap gas, masa bodoh yang masih muda sekalipun tak jadi soal, yang penting cepat menikah tanpa pikir panjang resiko di masa akan datang.pertama memang indah, setahun, dua tahun mulai menyadari ada perselisihan pendapat yang tajam, selera berbeda jenauh, terpaksa yang tua harus menuruti keinginan yang muda atau sebaliknya.

Kita memang tidak menutup mata bahwa ada pula pasangan yang menikah dengan usia yang terpaut jauh, namun dapt membina hidup kekeluargaan yang harmonis. Pasti, mereka ada resep tersendiri untuk saling menerima sebagaimana adanya.

Umumnya sang gadis lebih muda sedikit dari sang pria. Dapat juga usia sama atau yang wanita lebih sedikit dari pria. Namun usahakan tidak terlalu jauh untuk menjaga kemungkinan penyelewengan karena kurangnya kepuasan, keharmonisan, dan kesetiaan.

d. Perbedaan Sosial dan Pendidikan.
Soal berpacaran sebenarnya bukan soal kaya atau miskin, pandai atau bodoh, tetapi soal kecocokan batin, soal jodoh bukan soal lahir. Hal itu dapat diatur kemudian setelah keduanya menyatukan diri dan berpikir bersama, bekerja bersama, saling menolong, membantu, tidak hidup foya-foya atau boros sementara pasangannya membanting tulang.
Tidak juga saling memandang rendah, misalnya karena dia dari keluarga miskin, atau bodoh, maka tidak perlu tahu soal kepentingan dan urusan pasangannya. Inilah salah satu persoalan yang terjadi dalam pernikahan yang berbeda tingkat sosial dan pendidikannya. Kalau demikian halnya anda harus memutuskan sedini mungkin. keseimbanganlah yang diinginkan dengan pasangan yang diharapkan sebelum melanjutkan kepada pernikahan.

e. Masih bergantung pada Orang Tua.
Kalau seorang pemuda hidupnya masih bergantung pada orang tua, segala kebutuhannya masih disediakan sepenuhnya oleh orang tua, setiap melakukan pekerjaan dan menyelesaikan persoalan masih harus dibantu oleh orang tua, berarti ia belum siap menikah.
Sebab Alkitab mengatakan: “sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Merupakan tantangan dan syarat bagi pria bila hendak menikah ia harus dapat berdiri di atas kaki sendiri, tidak menyusahkan orang tua, melainkan dapat bertanggung-jawab mencukupi kebutuhan atau keperluan keluarganya, yaitu isteri dan anak-anaknya.

Kalau menikah dengan dijamin oleh orang tua segala biaya hidupnya sampai hari tuanya, tentu banyak orang mau. Tetapi tidaklah demikian, dan perlu disadari oleh setiap pasangan muda-mudi bahwa kita berpisah dari orang tua untuk melakukan kebenaran Allah, dan Allah akan turut campur tangan. Secara fisik orang tua tidak akan terus bersama dengan kita. Kalau orang tua membantu, katakan itu sebagai berkat.

Bahagialah si gadis jika mendapat patner yang sudah dapat bertanggung-jawab sendiri, dewasa, dan dapat mengatur hidupnya sendiri, menaruh hormat dan penuh pengertian. Sebaliknya, bahagialah yang mendapatkan gadis yang mengerti patnernya, dan dapat mendorong, mencintai serta setia kepadanya.
“Lebih baik menjadi orang kecil tetapi bekerja untuk diri sendiri, dari pada berlagak besar, tetapi kekurangan makan” (Amsal 12:9).

Oleh: Ungkhe_Excited
blessingmeukisi.blogspot.com
ath_groovy@yahoo.co.id

 
3 Komentar

Ditulis oleh pada 1 Agustus 2009 inci CUCI OTAK, KARYA TULIS, REFERENSI, RENUNGAN, SEBAIKNYA ANDA TAU!

 

Tag: , , ,

BENARKAH ADA KIAMAT ???

Melihat kepada segala ketegangan internasional, konflik-konflik, perang dingin dan perang hangat, pertentangan di antara bangsa-bangsa, tindakan-tindakan yang berani membinasakan jiwa manusia karena perbedaan ideologi, agama, pengacauan- pengacauan dan seribu satu macam kejahatan yang kini terjadi, banyak orang mengambil kesimpulan bahwa, peradaban modern dalam dunia dewasa ini sedang bergerak dengan cepat dan pasti dan tak dapat dihalang-halangi menuju nasibnya.
Banyak orang dengan rasa takut melihat kepada tindakan-tindakan di luar hukum yang semakin memuncak, ketegangan-ketegangan rasial, kenaikan harga bahan pokok sehari-hari, sebagai gejala bahwa dunia pasti akan sampai kepada suatu malapetaka besar.
Kita dapat membenarkan bahwa dunia kita sedang diantar menuju satu jurusan tertentu! Nasib apakah yang menanti dunia ini? Jurusan manakah sedang ditujunya? Orang bertanya, apakah benar ada hari kiamat? Jika benar ada, bilakah dan bagaimanakah kiamat itu?
Apakah dan mengapakah hari kiamat itu?
Ya, kita dapat menyaksikan bahwa dunia dengan keruntuhan-keruntuhannya yang meluas itu menyatakan bahwa sejarah memang ada akhirnya, dan di masa lampau, berakhirnya sejarah bagi bangsa-bangsa keturunan dan manusia sudah terjadi.
Lihat saja, piramide-piramide peninggalan Mesir kuno, dan hasil-hasil penggalian kota-kota Niniwe, Babel, Forum Romanium di Roma, dan banyak lagi, semuanya menyatakan tentang kekayaan dan kemuliaan yang pernah ada dalam sejarah, akhirnya telah menemui ajal dan sejarahnya telah selesai. Tidak peduli betapa besar dan berkuasanya satu bangsa di zamannya sendiri, maka ia akan sampai kepada saat kebinasaannya.
Dua ribu tahun yang lalu Kristus telah mengumumkan mengenai rencana Allah yang besar untuk menyelamatkan manusia yang percaya kepada Yesus Kristus dan menganugerahkan kepada mereka kehidupan yang tenang, damai dan abadi!

Yesus berkata: “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percaya juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada.” Yohanes 14:1-3.

1. MENGAPA YESUS KRISTUS HARUS DATANG KEMBALI?

Apabila kita mempelajari Kitab Suci, mengenai peristiwa yang terjadi pada akhir zaman, maka kita akan dapat mengerti mengapa Yesus Kristus harus datang kembali.
Yesus harus datang kembali karena manusia kini sedang merusakkan bumi dengan penemuan berbagai-bagai jenis bom-bom dan alat-alat peperangan. Allah tidak akan membenarkan tindakan manusia ini berlangsung terus, melainkan Ia akan menghukum mereka.
Jika Kristus tidak segera datang, maka keadaan dunia akan terus dirusakkan oleh manusia, dengan berbagai alat senjata modern! Ledakan bom-bom nuklir, pengotoran-pengotoran udara, dan tindakan-tindakan penghancuran lainnya sedang terjadi di segenap bagian bumi ini.

“Dan semua bangsa telah marah, tetapi amarah-Mu telah datang dan saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi dan untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Mu, nabi-nabi, dan orang-orang kudus dan kepada mereka yang takut akan nama-Mu, kepada orang-orang kecil dan orang-orang besar dan untuk membinasakan barangsiapa yang membinasakan bumi.” Wahyu 11:18.

“Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu daripada menuruti Allah.” 2 Timotius 2:1-5.

Inilah gejala-gejala akhir zaman, bahwa manusia dengan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, mempunyai sikap menolak kenyataan beragama kepada Allah yang benar. Kejahatan manusia semakin bertambah-tambah.
Yesus harus datang kembali, karena umat Allah yang setia telah lama menunggu kedatangan-Nya, agar mendapat kelepasan dari dosa, penyakit dan kematian.
Yesus Kristus harus datang kembali ke dunia ini, karena la telah berjanji memberikan pahala kepada orang-orang benar.

“Sesungguhnya Aku datang segera dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut per-buatannya.” Wahyu 22:12.

“Dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus.” Titus 2:13.

“Dan untuk memberikan kelegaan kepada kamu yang ditindas, dan juga kepada kami, pada waktu Tuhan Yesus dari dalam surga menyatakan diri-Nya bersama-sama dengan malaikat-malaikat-Nya.” 2 Tesalonika 1:7.

Sementara Yesus datang untuk menyelamatkan umat yang beriman, juga Yesus harus datang untuk menghukumkan orang-orang jahat.

“Sebab dosa-dosanya telah bertimbun-timbun sampai ke langit, dan Allah telah mengingat segala kejahatannya.” Wahyu 18:5.

“Di dalam api yang bernyala-nyala, dan mengadakan pembalasan terhadap mereka yang tidak mau mengenal Allah dan tidak mentaati Injil Yesus, Tuhan kita.” 2 Tesalonika 1: 8.

Yesus Kristus harus datang kembali untuk mendirikan kerajaan Kristus yang kekal abadi. Bangsa-bangsa di dunia ini terus bertempur satu dengan yang lain, dan Kristus harus meniadakan semua kerajaan di dunia ini.

“Tetapi pada zaman raja-raja. Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya. dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain; kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya.” Daniel 2:44.
“Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaan-Nya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.” Daniel 7:14.

2. BAGAIMANAKAH CARA KEDATANGAN YESUS KRISTUS KEMBALI?

Ada beberapa pandangan orang terhadap kedatangan Yesus Kristus kembali ke dunia ini, yang tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Ada orang menganggap bahwa kedatangan Yesus Kristus itu hanyalah menurut pengertian kiasan. Misalnya, apabila seorang mencapai satu taraf kehidupan yang baru, maka Yesus sudah datang kepada orang itu. Pengertian ini pula berarti bahwa kedatangan Yesus itu adalah di samping secara kiasan juga untuk pribadi tiap orang. Ada pula yang mengatakan bahwa kedatangan Yesus kembali, terjadi tiap kali ada orang meninggal dunia! Pendapat serupa itu. jelas sekali bertentangan dengan ajaran Kitab Suci!
Kitab Suci menjelaskan peristiwa yang sebenarnya sebagai berikut:

“Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia disaksikan oleh mereka, dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu. Tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea. mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke surga meninggalkan kamu, akan datang kembali. Adalah sama seperti pada waktu la diangkat naik ke Surga.

Tegasnya, bahwa kedatangan Yesus Kristus, adalah nyata dan kelihatan. Yesus tidak akan datang secara sembunyi atau menampakkan diri hanya kepada sekelompok manusia saja atau kepada salah seorang secara individu, secara rahasia melainkan kedatangan-Nya itu adalah dalam keadaan yang sesungguhnya. Apabila Yesus datang, la akan dilihat orang sebagaimana murid-murid-Nya melihat Dia diangkat ke surga pada waktu itu.

“Lihatlah, la datang dengan awan-awan dan setiap mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia. Dan semua bangsa di bumi akan meratapi Dia. Ya, amin.” Wahyu 1:7.

Untuk mendapatkan dengan benar cara kedatangan Yesus Kristus agar jangan sampai tertipu, Yesus sendiri telah berkata:

“Pada waktu itu jika orang berkata kepada kamu: Lihat, Mesias ada di sini, atau Mesias ada di sana, jangan kamu percaya… Sebab sama seperti kilat memancar dari sebelah timur dan melontarkan cahayanya sampai ke barat, demikian pulalah kelak kedatangan Anak Manusia.” Matius 24:23,27

Yesus akan datang dalam keadaan yang sesungguhnya, karena semua mata akan melihat kedatangan-Nya bahkan kedatangan-Nya itu akan hebat seperti kilat, yang terpancar dari timur ke barat, Yesus tidak akan datang sendirian, melainkan dengan kemuliaan malaikat-malaikat.

“Apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya dan semua malaikat bersama-sama dengan Dia, maka la akan bersemayam di atas takhta kemuliaan-Nya.” Matius 25:31.
“Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Tuhan berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari surga….” 1 Tesalonika 4:16.

3. PERISTIWA APAKAH AKAN TERJADI WAKTU YESUS DATANG?

Peristiwa besar yang tetap menjadi masalah dalam kehidupan manusia ialah kematian. Tetapi apabila Yesus datang masalah kematian itu akan langsung diatasi dan diselesaikan. Khusus bagi orang yang percaya kepada-Nya, kepada umat Allah yang saleh, diberikan perjanjian ini.

“Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala Tuhan berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari surga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dulu bangkit.” 1 Tesalonika 4:16.

Inilah salah satu bagian dari rencana keselamatan Allah bagi manusia berdosa dan yang harus mati itu. Bahwa mereka yang telah mati dalam iman, akan dibangkitkan.

” Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum.” Yohanes 5:28-29.

Satu kegenapan perjanjian Allah yang indah bagi umat Allah! Bangkit dari kematian! Bukan itu saja, tetapi pada waktu kebangkitan itu, mereka akan diubahkan, dari tubuh yang fana, menjadi tubuh yang kekal! Tubuh yang tidak berpenyakit!

“Kita semuanya akan diubah, dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi dan orang-orang mati akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah. Karena yang dapat binasa ini harus mengenakan yang tidak dapat binasa, dan yang dapat mati ini harus mengenakan yang tidak dapat mati.” 1 Korintus 15:52-53.

Alangkah bahagianya waktu itu! Tubuh kita yang selalu menjadi sasaran penyakit, dan penderitaan, akan diganti dengan tubuh yang baru dan kekal. Tubuh kita yang menjadi hancur dan busuk pada waktu kematian, akan dibangkitkan dengan keadaannya yang tetap segar dan sehat! Tidak perlu khawatir tentang serangan penyakit karena tidak ada penyakit lagi! Tidak perlu obat! Tidak takut penyakit kanker lagi! Kristus sudah datang! Tidak perlu rumah sakit! Tidak perlu tanah untuk kuburan. Semuanya sudah lalu! Kristus sudah datang!
Kedatangan Kristus bukan saja membangkitkan orang-orang yang benar dari dalam kubur dan mengubahkan tubuh mereka dengan tubuh yang baru dan kekal, tetapi juga akan mengambil mereka dari dunia yang berdosa ini, dan membawa mereka pulang ke surga!

“Sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan.” I Tesalonika 4:17.

Sementara kedatangan Yesus kembali ke dunia ini, menjadi pengharapan yang berbahagia dan keselamatan bagi orang-orang benar yang percaya kepada Allah, hari itu adalah pula menjadi hari pembalasan hukuman bagi orang-orang jahat! Perhatikan-lah apa yang akan terjadi dengan mereka! Semua orang jahat yang menolak firman Allah dan tidak beriman, akan menerima hukuman pada waktu kedatangan Yesus.
Kitab Suci menjelaskan bahwa pada waktu Yesus datang, dunia ini akan dihancurkan.

“Tetapi pada hari Tuhan akan tiba seperti pencuri, Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap.” 2 Petrus 3:10.

Apakah yang terjadi dengan orang-orang yang tidak beribadat kepada Allah?

“Maka menyusutlah langit bagaikan gulungan kitab yang digulung dan tergeserlah gunung-gunung dan pulau-pulau dari tempatnya. Dan raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, dan orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, dan semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: “Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu. “Sebab sudah tiba hari besar murka mereka dan siapakah yang dapat bertahan?” Wahyu 6:14-17.

Alangkah sedihnya! Mereka itu telah mendapat kesempatan hidup dalam dunia dengan segala kebesaran, kekayaan, pangkat, tetapi tidak mau berbakti kepada Allah! Mereka adalah orang-orang yang mementingkan makan, minum, mencari kesenangan-kesenangan duniawi, berjudi dan menikmati segala kepelesiran, dan tidak mempedulikan agama. Mereka kemudian sadar tapi sudah terlambat, karena kesempatan yang baik telah mereka sia-siakan, mereka tidak mau mengikuti firman Allah dan menganggap enteng soal agama, maka Allah tidak dapat menyelamatkan mereka. Mereka berteriak, menangis meminta perlindungan pada gunung-gunung batu, tapi sia-sia, dan mereka meminta supaya batu-batu itu menimpa dan membinasakan mereka!

“Dan Ia akan berkata juga kepada mereka yang di sebelah kiri-Nya: Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk Iblis dan malaikat-malaikatnya.” Matius 25:41.
“Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” Matius 7:23.

4. BERSEDIA UNTUK BERTEMU DENGAN YESUS KRISTUS

Persiapan apakah yang perlu diadakan jika kita mau bertemu dengan Yesus dan diselamatkan pada hari kedatangan-Nya? Apakah keselamatan itu diberikan bagi semua orang, atau hanya kepada rombongan tertentu saja? Tidak! Adapun rencana keselamatan Allah itu disediakan bagi semua orang, yang mau mengikuti kehendak-Nya. Jika demikian apakah syarat-syarat yang harus diperbuat oleh seseorang yang mau diselamatkan pada hari kedatangan Yesus?
Perhatikanlah petunjuk yang berikut ini. Nasihat Tuhan ini adalah bagi semua orang sebagai persiapan menjelang hari yang hebat itu.

“Carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya; baiklah ia kembali kepada TUHAN, maka Dia akan mengasihaninya, dan kepada Allah kita, sebab Ia memberi pengampunan dengan limpahnya.” Yesaya 55:6,7.
“Mencari Tuhan, berdoa, bertobat dari segala jalan kehidupan yang jahat, adalah usaha penting yang harus dilaksanakan agar boleh diselamatkan pada waktu Yesus datang!
” Setiap orang yang menaruh pengharapan itu kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci.” 1 Yohanes 3:3.

Bagaimana dapat kita bersedia? Dengarlah nasihat yang berikut ini:

“Tetapi hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur .karena nyalanya. Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.” 2 Petrus 3:10-13.

Dapatkah seseorang mengetahui bila kedatangan Yesus kembali? Ia menasihatkan selanjutnya, agar semua orang yang menantikan kedatangan-Nya itu harus waspada dan berdoa setiap waktu.

“Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.” Matius 24:42.
Alangkah bahagianya menjadi umat Allah dan berbakti pada-Nya. Betapa mulianya kesempatan termasuk dalam rombongan umat yang menantikan kedatangan Yesus kembali ke dunia ini! Walaupun banyak kali menghadapi kesusahan dan pergumulan dalam kehidupan di dunia ini, umat Tuhan tetap menatap kepada Yesus Kristus, menunggu dengan tabah perjanjian-Nya dan penuh pengharapan untuk segera terwujudnya hari keselamatan itu. Segala kesusahan dan penderitaan di dunia ini akan lenyap apabila mereka memandang Yesus datang di awan-awan beserta malaikat-malaikat-Nya. Mereka akan bersorak dengan kesukaan.
“Pada waktu itu orang akan berkata: ‘Sesungguhnya, inilah Allah kita, yang kita nanti-nantikan, supaya kita diselamatkan. Inilah TUHAN yang kita nanti-nantikan; marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita oleh karena keselamatan yang diadakan-Nya!” Yesaya 25:9.

source : tigamalaikat.blogger.com via forumkristen.com

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 27 Juni 2009 inci BERITA, REFERENSI, RENUNGAN, SEBAIKNYA ANDA TAU!

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

ARTI HIDUP SEJATI

oleh Denny Teguh Sutandio, S.S., jemaat Gereja Reformed Injili Indonesia (GRII) Andhika, Surabaya dan proofreader di Momentum Christian Literature, Surabaya yg terbeban untuk mensharingkan Theologia Reformed Injili dari Pdt. Dr. Stephen Tong & berisi artikel-artikel : Mandat Budaya, Kegiatan Reformed Injili, Theologia Sistematika, Eksposisi Alkitab, Renungan, Analisa Kritis Terhadap Buku The Purpose Driven Life, dll

“ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.”
(Kejadian 2:7)

1.1 Arti Hidup Menurut Perspektif Dunia
Dunia di mana kita hidupi hari ini sedang mengalami krisis makna hidup. Berbagai cara manusia berusaha untuk mencoba menemukan makna hidupnya, dari menyiksa diri (beraskese), sampai hidup hedonis yang melampiaskan semua kesenangan hawa nafsunya. Mereka pada intinya ingin mengerti makna hidup untuk selanjutnya makna itu bisa mereka jalani dengan baik. Oleh karena itu, marilah kita melihat sekelumit tentang definisi hidup dalam perspektif dunia kita.
1. Hidup Adalah Perjuangan
Pertama, dunia kita melihat hidup adalah suatu perjuangan. Di dalam suatu perjuangan, dibutuhkan kekuatan untuk mengerjakannya. Tidaklah heran, manusia di dunia suka berjuang meskipun banyak dari mereka tidak mengerti motivasi dan tujuan dari apa yang diperjuangkannya. Yang mereka ketahui bahwa hidup ini adalah hanya untuk berjuang, terus berjuang agar mencapai apa yang diidam-idamkan. Oleh karena itu, di dunia ini sangatlah laris promosi training motivasi dari para motivator dari sekelas Anthony Robbins sampai Andrie Wongso dengan idenya Success is My Right. Para motivator ini terus memberikan motivasi bagi para peserta seminarnya dan manusia dunia ini agar mereka yang merasa down boleh ditingkatkan kembali semangatnya, tetapi rupa-rupanya semangat ini tidak bersumber dari Allah, sehingga motivasi peningkatan semangat ini adalah untuk kepentingan diri (humanisme) dan tujuannya pun untuk kemuliaan diri (meskipun di dalam beberapa buku “rohani” sekalipun, tujuan motivasi ini untuk “kemuliaan Tuhan”). Inilah jiwa atheisme praktis di dalam diri manusia yang berakar dari humanisme ditambah semangat pantheisme dan Gerakan Zaman Baru yang diindoktrinasikan melalui berbagai training motivasi dan pengembangan pribadi. Perjuangan yang dilandasi oleh semangat ingin mencapai cita-cita dan self-centered ini tentu tidak akan menemukan makna hidup sejati dan tentunya juga makna perjuangan sejati, karena yang menjadi landasannya adalah kepentingan diri yang sebenarnya makhluk yang terbatas.

2. Hidup Adalah Kesempatan
Kedua, dunia kita yang terus mau berjuang, adalah dunia yang juga mengidentikkan hidup adalah kesempatan. Mereka menyadari bahwa hidup di dunia ini hanya sementara, oleh karena itu mereka memakai setiap kesempatan yang ada untuk meraih apa yang mereka inginkan. Di sini, dunia kita mengaitkan hidup dengan waktu yang ada. Di dalam setiap waktu/kesempatan, mereka mau mengerjakan apa yang diinginkan oleh mereka, entah itu baik atau jahat menurut pandangan Alkitab, mereka tidak seberapa mempedulikannya. Bagi mereka, apa yang diinginkannya harus dicapai di dalam setiap kesempatan. Misalnya, orang yang dulunya hidup miskin ingin menjadi kaya, maka dia bukan hanya berjuang untuk meraih uang, tetapi juga menggunakan setiap kesempatan yang ada untuk meraih yang dicita-citakan. Tidak heran, beberapa dari mereka sampai-sampai menggunakan kesempatan untuk meraih yang dicita-citakan dengan hal-hal yang buruk, contohnya, dengan korupsi, dll. Di sini, letak kegagalan dunia kita yang semakin jauh dari Allah, yaitu memandang setiap waktu/kesempatan adalah untuk dirinya sendiri.

3. Hidup Untuk Kerja
Ketiga, hidup adalah kesempatan direalisasikan oleh banyak manusia sekarang dengan bekerja. Bagi banyak orangtua (termasuk banyak orangtua “Kristen”), kerja adalah segala sesuatu. Manusia dapat disebut manusia ketika mereka sudah bisa berdikari sendiri atau bekerja untuk mendapatkan uang sendiri tanpa tergantung dengan orangtua. Akibatnya, sejak kecil, anak-anak sudah ditanamkan konsep bahwa hidup itu untuk bekerja, sekolah untuk bekerja, dll. Tidak heran, cukup banyak anak yang masih kecil, misalnya SD atau SMP sudah bisa bekerja, misalnya, menjadi artis, model, dll. Akhirnya, fokus hidup sudah dialihkan dari Tuhan kepada kerja. Itulah tipu daya iblis yang bekerja di abad postmodern ini dengan menyingkirkan Allah dari hidup manusia. Akibatnya, mereka yang memandang hidup adalah kerja, akan memandang setiap kesempatan hanya untuk bekerja, dan aktivitas-aktivitas yang menurut mereka “tidak penting”, misalnya bahkan pergi ke gereja, persekutuan, makan, minum, tidur, dll, adalah sesuatu yang tidak penting, sehingga mereka rela mengorbankan banyak waktu untuk bekerja. Yang paling celaka adalah seorang ayah/suami/kepala keluarga yang memiliki konsep bahwa hidup untuk bekerja pasti berdampak kepada keluarganya, di mana istri akan mengalami kekurangan perhatian dari sang suami, dan anak-anak pun mengalami kekurangan perhatian dari ayah mereka, sehingga akhirnya keluarga ini akan menjadi berantakan dan berakhir kepada perceraian. Perceraian ini bisa terjadi salah satunya karena terlalu mementingkan pekerjaan sebagai fokus hidup manusia. Akibat lainnya dari konsep ini adalah mengerjakan segala sesuatu dengan keterpaksaan. Artinya, hidup orang ini akan diikat oleh pekerjaannya, baik di kantor maupun di rumah. Sehinga, tidak heran, orang ini lama-kelamaan akan menjadi stress, depresi dan akhirnya, jika tidak kuat lagi, akan bunuh diri.

4. Hidup Adalah Uang
Keempat, orang yang sudah memfokuskan hidupnya pada bekerja, maka dapat dipastikan banyak dari mereka juga memfokuskan hidupnya pada uang. Konsep ketiga dan keempat ini sangat berkaitan erat. Seorang yang memandang hidup adalah hanya untuk uang, maka segala sesuatu diukur dari segi apakah yang dilakukannya itu dapat mendapatkan uang/profit bagi dirinya. Inilah jiwa pragmatis (utilitarian) dan materalis yang dianut oleh banyak manusia postmodern ini (bahkan di dalamnya banyak orang “Kristen”). Bagi mereka, yang penting adalah mereka mendapatkan uang sebanyak-banyaknya bahkan kalau perlu “mengorbankan orang lain”. Tidak heran, bisnis Multi Level Marketing (MLM), asuransi, dll laku keras, karena manusia sedang dikunci oleh uang/materi yang fana sifatnya. Profesi dokter pun tidak luput dari fokus hidup manusia yaitu uang. Dokter bukan bekerja untuk kepentingan pasien lagi, tetapi untuk uang. Tidak usah heran, mengapa banyak dokter tidak langsung memberikan obat kepada pasien yang sedang sakit, tetapi dokter tersebut memberikan obat secara bertahap (banyak dari mereka bukan beralasan medis), maksudnya, kalau pasien itu sudah habis meminum obat yang satu, maka mereka akan kembali lagi dan si dokter pasti mendapatkan pemasukan uang lagi melalui kedatangan si pasien tersebut. Bahkan yang lebih celaka, banyak pendidik, dosen, dll mengajar bukan karena panggilan-Nya di dalam hidup mereka, tetapi karena uang atau menimba pengalaman. Maka, jangan heran, banyak guru/dosen baik yang mengaku diri “Kristen” berani mengajari anak-anak muridnya secara tidak bertanggungjawab, misalnya ada seorang dosen “Kristen” saya secara tidak bertanggungjawab mengatakan, “science itu tidak ada hubungannya dengan religion”. Apakah pendeta juga tidak bisa demikian ? BISA. Banyak “hamba Tuhan” terutama di dalam banyak gereja-gereja kontemporer yang populer saat ini juga memfokuskan hidupnya pada uang dan profit pribadi. Jangan heran, di abad postmodern ini, yang dipentingkan bukan lagi pengertian/pengetahuan yang beres, tetapi feeling, lalu gereja-gereja pun berlomba-lomba menyediakan sarana-sarana yang dapat memenuhi feeling banyak orang “Kristen. Caranya ? Mudah, memanggil “pendeta-pendeta” yang “pintar” berkhotbah, bercerita lucu, lalu mengkhotbahkan kemakmuran (meskipun banyak dari mereka menolak bahwa gerejanya mengajarkan kemakmuran, tetapi yang lebih aneh lagi, slogan gerejanya mengandung unsur kemakmuran), dll. Zaman kita adalah zaman di mana sedang musim cho gereja (cari untung melalui gereja). Motivasinya, jelas, para “hamba Tuhan” gereja tersebut “melayani Tuhan” demi uang, agar bisa sukses, kaya, dll. Lalu, kesuksesannya untuk apa ? Jelas untuk profit pribadi, meskipun di depan mimbar selalu dipromosikan untuk “pekerjaan Tuhan”. Saya sudah terlalu banyak menemukan “hamba Tuhan” model ini dan ibu saya sendiri sudah banyak sekali mengalami hal ini dan menceritakannya kepada saya.
Adalah suatu kebodohan yang luar biasa, jika manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah bisa mau diperbudak oleh uang yang adalah benda mati. Uang yang seharusnya ditundukkan oleh manusia, malahan sekarang dibalik, lalu uang menjadi tuan yang memerintah manusia. Ini namanya pembalikan posisi, yang merupakan salah satu ciri masuknya dosa ke dalam diri manusia. Tidak heran, yang sebenarnya sangat penting, misalnya membaca Alkitab, bersekutu dengan-Nya, dll, dianggap oleh manusia dunia menjadi tidak penting, dll, dan lebih aneh lagi jika ada seorang “Kristen” berjiwa pragmatis dan relativis mengatakan bahwa itu semua tergantung pada masing-masing orang, lalu kita tidak boleh memaksa mereka. Saya mengira anggapan ini sama sekali bukan anggapan seorang “Kristen” meskipun mengaku diri “Kristen”, aktif di dalam persekutuan gereja sekalipun. Seorang yang cuek dengan orang lain sama sekali bukan ciri orang Kristen sejati.

5. Hidup itu Biasa Saja
Prinsip kelima dari definisi hidup yang dunia sedang ungkapkan yaitu hidup itu biasa saja, jadi jalani sebagaimana adanya. Inilah jiwa pragmatisme dunia kita yang muncul melalui definisi hidup yang biasa saja. Hidup yang biasa saja menandakan bahwa di dalam diri manusia sudah tidak ada lagi makna hidup sejati, sehingga hidup ini hanya dijalani tanpa arah dan tujuan yang pasti sesuai dengan firman-Nya. Tidak usah heran, ketika manusia dunia hanya mengerti hidup ini hanya biasa saja, maka mayoritas mereka menggunakan dan mengisi hidup mereka hanya untuk kepuasan diri mereka saja. Salah satu iklan rokok mengatakan, enjoy aja. Itu yang sedang dunia tawarkan bahwa yang penting itu enjoy, suka-suka bertindak apapun, yang penting happy, senang, gembira, dll. Hidup yang serba gembira ini sangat berbahaya, karena hidup yang gembira tidak mengerti sesungguhnya apa itu penderitaan, kesusahan, dll. Tidak heran, banyak orang “Kristen” yang sudah diindoktrinasi bahwa menjadi “Kristen” pasti kaya, sukses, dll, ketika ada penganiayaan datang, mereka lah yang pertama kali langsung menghujat Tuhan, karena kondisi yang serba pleasure sebenarnya tidak mengerti hidup itu sesungguhnya.

6. Hidup Adalah Penderitaan
Kalau pada poin kelima, dunia kita mengartikan hidup itu sebagai sesuatu yang biasa saja, lalu bisa bertindak seenaknya sendiri, maka pada poin keenam, sebagai kebalikannya, beberapa manusia dunia yang ekstrim mengatakan bahwa hidup itu penderitaan. Di dalam hidup itu pasti menderita, entah itu ditinggal oleh seseorang yang dikasihi yang telah meninggal, putus pacar, dll. Pokoknya, tidak ada hidup tanpa penderitaan. Inilah wajah dunia kita yang hopeless yang mencari makna hidup tetapi akhirnya kehilangan hidup itu sendiri, karena terlepas dari jalan yang Allah telah tetapkan. Itulah akibat dari menaruh pengharapan kepada dunia ciptaan yang terbatas dan berdosa ini. Tetapi, apakah kalau kita menaruh pengharapan kepada Tuhan pasti kaya dan tidak menderita ? TIDAK. Kita jangan terlalu ekstrim. KeKristenan hendaknya jangan terlalu ekstrim menekankan dua kubu, yaitu terlalu mementingkan kesuksesan hidup, yang lainnya menekankan penderitaan terus-menerus. KeKristenan harus seimbang, menyeimbangkan antara penderitaan karena nama Tuhan dengan pengharapan sesudah penderitaan yaitu hidup kekal bersama-Nya.

7. Hidup Untuk Orang Lain
Terakhir, hanya sedikit manusia bisa memiliki tujuan hidup demi orang lain. Artinya, meskipun definisi hidup yang terakhir ini masih kurang, tetapi setidaknya, defisini hidup ini masih lebih baik dari definisi hidup dari nomer satu sampai dengan 6 yang self-centered. Pada konsep terakhir ini, manusia memandang hidupnya dipersembahkan bagi orang lain. Contohnya, banyak pelukis, komposer musik, dll melakukan segala sesuatu demi orang lain, sehingga tidak heran nama-nama mereka cukup dikenal di dalam zamannya maupun zaman sesudah mereka meninggal dunia. Johan Sebastian Bach, G. F. Hendel, Leonardo da Vinci, dll adalah orang-orang yang telah bersumbangsih bagi dunia karena mereka mementingkan orang lain ketimbang diri. Mungkin saja mereka mau rugi mengorbankan waktu, tetapi yang penting orang lain mendapatkan kepuasan dari hasil kerugiannya. Tentu itu berbeda dengan semangat manusia di abad postmodern yang lebih mementingkan profit pribadi dengan mengorbankan orang lain.

1.2 Arti Hidup Menurut Perspektif “Kristen” yang Palsu
Lalu, sekarang ini, kita akan beralih kepada arti hidup menurut perspektif “Kristen” yang seolah-olah kelihatan lebih “rohani”, tetapi sebenarnya palsu. Mereka berani menggunakan istilah “Kristen” untuk menjelaskan makna hidup, padahal istilah itu hanya sekedar topeng untuk menyelimuti ide humanisme, pantheisme dan pragmatisme di dalam dirinya. Itulah yang kita lihat di dalam buku The Purpose Driven Life karya Rick Warren.
Dari judul bukunya saja, kita sudah menemukan ide yang sudah saya jelaskan tadi, yaitu istilah “Kristen” dijadikan topeng (dengan cara mengutip ribuan ayat Alkitab yang kebanyakan di luar konteks asli) untuk menyelimuti esensi sebenarnya yaitu humanisme, pantheisme, materalisme dan pragmatisme. Tentu, di dalam metode penafsiran Alkitab, Warren menggunakan tafsiran-tafsiran Alkitab yang semau gue menurut seleranya pribadi tanpa memperhatikan konteks, bahasa asli dan terjemahan-terjemahan Alkitab yang lebih tepat. Itulah metode eisegese dalam penafsiran Alkitab yang salah, tetapi laris dalam masyarakat “Kristen” (khususnya yang bertheologia Injili non-Reformed). Hal ini akan banyak disinggung dan diuraikan secara tuntas pada bab kedua makalah ini. Kembali, apakah hidup kita digerakkan tujuan ? Kalau benar demikian, sebenarnya ada tiga pertanyaan penting yang perlu dipertanyakan. Pertama, siapa yang mengarahkan tujuan itu. Kedua, apakah tujuan yang diarahkan itu ? dan ketiga, tujuan siapa yang dituju ? (atau untuk apa tujuan itu ?) Jelas, di dalam buku The Purpose Driven Life, meskipun menggunakan nama “Tuhan”, sebenarnya yang mengarahkan tujuan itu adalah diri manusia itu sendiri, tujuan itu adalah berkenaan dengan cita-cita manusia yang hebat dan mulia (tanpa Allah) lalu tujuan itu membawa kemuliaan bagi diri manusia sendiri (persis terbalik dari Roma 11:36 yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia, bagi Dia lah kemuliaan selama-lamanya). Inilah jiwa humanisme sekuler (atau sekularisme) tetapi yang masih memperalat “Tuhan” agar kelihatan “rohani”. Inilah jiwa manusia berdosa.

1.3 Arti Hidup Sejati Menurut Alkitab
Lalu, apa kata Alkitab tentang hidup sejati ? Pada bagian awal Bab 1 ini, saya sudah mengutip Kejadian 2:7, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Terjemahan Baru LAI) atau terjemahan Alkitab BIS memberikan pengertian yang lebih jelas, “Kemudian TUHAN Allah mengambil sedikit tanah, membentuknya menjadi seorang manusia, lalu menghembuskan napas yang memberi hidup ke dalam lubang hidungnya; maka hiduplah manusia itu.” Kata “nafas hidup” berasal dari bahasa Ibrani, neshâmâh yang berarti tiupan atau hembusan atau nafas yang vital/sangat penting/berkenaan dengan hidup. Kata Ibrani ini juga dipakai di dalam Amsal 20:27 untuk kata “Roh manusia” (Terjemahan Baru LAI) atau “hati nurani manusia” (Alkitab BIS). Lalu kata “makhluk yang hidup” (TB-LAI) diterjemahkan a living soul oleh King James Version (KJV) yang berarti jiwa/makhluk yang hidup. Kata “soul” dalam KJV ini diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani nephesh yang artinya makhluk yang bernafas. Dari Kejadian 2:7 inilah, kita mendapatkan satu prinsip hidup sejati dari Alkitab, yaitu hidup sejati adalah hidup yang berpaut kepada Allah sebagai Sumber Hidup. Kalau Allah tidak menghembuskan nafas hidup-Nya ke dalam hidung manusia, maka manusia tidak dapat menjadi makhluk yang hidup. Nafas hidup-Nya itulah sumber hidup bagi hidup manusia yang mengakibatkan manusia bisa bernafas dan itulah yang disebut makhluk yang hidup. Arti hidup manusia yang sejati tidak didapat dari manusia itu sendiri yang sendiri merupakan makhluk yang dicipta, tetapi dari Allah sebagai Sang Pencipta. Ketika kita ingin mengerti apa arti hidup sejati belajarlah dan bertanyalah kepada Allah karena Ia yang menciptakan kita pasti mengetahui apa arti hidup itu, dan jangan sekali-kali bertanya kepada para psikolog, eksistensialis, dll yang sendirinya juga adalah sesama manusia. Sungguh suatu kebodohan manusia dunia ini ketika mereka yang ingin mengerti arti hidup tidak langsung bertanya kepada Sang Sumber Hidup, tetapi bertanya kepada sesama manusia yang sama-sama berdosa dan terbatas. Itulah kegagalan psikologi dan eksistensialis yang tidak kembali kepada Allah.
Tetapi tahukah kita bahwa hidup manusia yang pada awalnya telah diciptakan Allah begitu mulia sehingga manusia langsung bercakap-cakap dengan Allah ternyata dirusak oleh manusia sendiri dengan meragukan eksistensi Allah. Itulah dosa. Dosa bukan dimulai ketika Hawa memetik buah pengetahuan yang baik dan jahat yang dilarang oleh Allah, tetapi dosa dimulai ketika manusia mulai meragukan kebenaran Allah. Usaha meragukan kebenaran Allah menjadi cikal bakal iblis terus mencobai manusia dan akhirnya manusia pertama jatuh ke dalam dosa yang mengakibatkan manusia setelah Adam dan Hawa ikut mewarisi dosa asal (original sin), di samping ada dosa aktual yang dilakukan oleh masing-masing pribadi manusia. Ketika dosa masuk ke dalam manusia, hidup manusia mulai kehilangan arah. Kehilangan arah ini ditandai dengan keinginan manusia terus melawan Allah dan ini mulai nampak ketika Kain yang membenci dan menaruh dendam kepada adiknya, Habel karena persembahan Kain tidak diterima oleh Tuhan, sedangkan persembahan adiknya diterima oleh Tuhan. Lalu, dilanjutkan dengan kejadian-kejadian dan tindakan-tindakan manusia yang membuat Tuhan menyesal, sampai-sampai Tuhan mengatakan, “Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” (Kejadian 6:5-6) Tetapi yang menarik, di dalam setiap kejahatan yang manusia lakukan, Tuhan tetap menyediakan sekelompok sisa (remnant) yang masih setia kepada Tuhan. Dua ayat setelah Kejadian 6:6, yaitu pada ayat 8, Alkitab mengatakan, “Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.” Nuh bisa mendapatkan anugerah Tuhan, itu semata-mata karena kedaulatan-Nya saja, bukan karena kehendak Nuh yang ingin mencari Tuhan. Allah yang berdaulat adalah Ia yang berkehendak menyatakan anugerah-Nya kepada siapapun menurut kedaulatan-Nya, bukan menurut perbuatan baik manusia tersebut. Itulah Reformed theology. Nuh yang mendapatkan kasih karunia Tuhan di antara manusia-manusia berdosa di zamannya berusaha mempertanggungjawabkan anugerah-Nya itu dengan hidup beres dan menaati Tuhan dan firman-Nya. Lalu, akibat ketaatannya itu dari membangun bahtera sampai keluar dari bahtera dan mendirikan mezbah bagi Tuhan, maka Tuhan berjanji di dalam Kejadian 8:21-22, “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan. Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.” Bisa saja, pada waktu itu, Nuh tidak menaati Tuhan, lalu berdalih dengan seribu macam alasan, akibatnya Nuh itu mati bersama orang-orang sezamannya. Tetapi puji Tuhan, Nuh yang kita kenal di dalam Alkitab adalah Nuh yang meresponi anugerah Allah dengan tepat dan taat mutlak kepada-Nya. Di situlah, Nuh mendapatkan makna hidup sejati, yaitu ketika ia kembali taat kepada-Nya. Banyak orang dunia hari-hari ini berpikir bahwa menjadi Kristen itu susah, karena apa saja tidak boleh, lalu mereka berpikir bahwa kalau tidak menjadi Kristen itu lebih enak. Itu adalah kesalahan besar. Saya bertanya, kalau kita hidup di zaman Nuh, apakah kita ingin menjadi seperti Nuh atau orang-orang sezamannya ? Kalau orang-orang dunia pasti memilih menjadi seperti orang-orang yang hidup di zaman Nuh yang mengejek Nuh ketika Nuh membangun bahtera, mereka berpesta pora, mabuk-mabukan, dll. Lalu, mereka menganggap diri hebat, bebas, dan itulah hidup yang mereka cari. Tetapi benarkah demikian ? Setelah bencana air bah yang menyapu bersih orang-orang di zaman itu, kecuali Nuh, maka mereka baru sadar bahwa hidup itu hanya sementara dan hidup yang tidak kembali kepada Allah akan sia-sia adanya, tetapi Nuh meskipun dirinya dihina ketika membangun bahtera pada waktu kemarau, tetapi ia mengerti hidup itu sesungguhnya karena ia kembali taat kepada Allah. Ketaatan kepada Allah itulah kunci utama kita menemukan hidup sejati. Tetapi kesalehan seperti Nuh itu sebentar saja terjadi di dalam sejarah, selanjutnya orang-orang setelah Nuh banyak bermunculan dan mereka banyak yang jahat dan memberontak terhadap Tuhan. Oleh karena itu, Allah yang Berdaulat memilih bangsa Israel menjadi bangsa pilihan-Nya. Kepada mereka, Allah mewahyukan Taurat untuk memimpin dan mengatur perilaku mereka agar berkenan kepada-Nya. Tetapi, bagaimana faktanya, apakah mereka semua menuruti perintah Taurat ? TIDAK. Mereka memang menghafal semua yang tertulis di dalam Taurat, tetapi itu hanya menguasai bidang rasio saja, dan tidak benar-benar mengerti artinya. Itulah sebabnya, mereka semakin mengerti Taurat, bukan semakin mengerti esensi Taurat, tetapi lebih menekankan fenomena upacara sesuai Taurat. Bahkan ada yang melarang orang berjalan beberapa kilometer di hari Sabat, dll. Taurat yang sebenarnya baik malahan dibuat tidak baik oleh para ahli Taurat yang menganggap diri ahli di bidang Taurat (itulah namanya ahli Taurat, ahli di bidang Taurat, ahli pula untuk memelintir hal-hal esensi di dalam Taurat). Mereka berpikir dengan hidup berbuat baik seperti yang Taurat perintahkan, mereka akan menemukan arti hidup dan keselamatan sejati. Dari Surga, Allah tidak tinggal diam, Ia mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk mengembalikan fungsi hidup sebagaimana pada waktu Ia menciptakan manusia. Kristus datang untuk menebus dosa manusia dan mengembalikan makna hidup sejati. Ketika Ia berinkarnasi dan turun menjadi manusia tanpa meninggalkan natur Ilahinya, Ia mengajarkan prinsip-prinsip penting tentang makna hidup. Mari kita menelusuri satu per satu di dalam Injil.

Pertama, hidup itu berpusat kepada firman Allah. Hal ini tercantum di dalam Matius 4:4, “Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (dikutip dari Ulangan 8:3) Hidup manusia bukan sekedar makan, minum, bersenang-senang, tetapi hidup manusia itu berasal dari Allah, atau lebih tepatnya dari setiap firman Allah. Di sini, Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa manusia itu hidup tidak memerlukan roti sama sekali, tetapi Ia mengatakan bahwa manusia tidak hanya memerlukan roti saja untuk hidup. Kata “hanya” atau “saja” dalam ayat ini berarti kita masih membutuhkan roti atau makanan jasmani untuk menyambung hidup, tetapi poin penting atau esensinya bukan terletak pada roti atau sesuatu yang jasmaniah, tetapi firman Allah itulah yang esensi dan terpenting yang menjamin hidup kita menjadi bermakna. Dengan kata lain, firman Allah itu menjadi Sumber Hidup kita yang paling hakiki. Firman Allah menjadi penuntun, pemimpin dan pengoreksi hidup kita ketika kita ingin berbuat dosa. Firman Allah menjadi batas dan penghakim bagi kita, sehingga kita tidak keluar dari jalan-Nya, sebagaimana yang pemazmur katakan di dalam Mazmur 119:105, “Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Lalu, di dalam pasal yang sama di ayat 1-10, “Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang hidup menurut Taurat TUHAN. Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya, yang mencari Dia dengan segenap hati, yang juga tidak melakukan kejahatan, tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya. Engkau sendiri telah menyampaikan titah-titah-Mu, supaya dipegang dengan sungguh-sungguh. Sekiranya hidupku tentu untuk berpegang pada ketetapan-Mu! Maka aku tidak akan mendapat malu, apabila aku mengamat-amati segala perintah-Mu. Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur, apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil. Aku akan berpegang pada ketetapan-ketetapan-Mu, janganlah tinggalkan aku sama sekali. Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu. Dengan segenap hatiku aku mencari Engkau, janganlah biarkan aku menyimpang dari perintah-perintah-Mu.” Firman-Nya itu sangat berarti bagi hidup pemazmur. Hal ini sangat berbeda total dengan banyak paradigma hidup yang dianut oleh banyak orang yang mengaku diri “Kristen” apalagi “melayani Tuhan” lalu alergi mendengar kata “Tuhan” disebutkan di luar gereja. Kalau di dalam Mazmur 119:9, pemazmur mengatakan bahwa orang muda dapat mempertahankan kelakuan yang bersih ketika firman-Nya menjaga hidup mereka, tetapi dunia kita mengajarnya secara bertolak belakang, yaitu ketika psikologi mengajar mereka tentang makna “hidup”, maka tidak heran, banyak orang muda yang belajar psikologi (tanpa belajar firman-Nya) berakhir tragis, misalnya bunuh diri, stress, dll. Ketika manusia mencoba menemukan makna hidup di luar firman-Nya, manusia tidak pernah menemukannya, karena hidup sejati pasti berpusat kepada Allah dan firman-Nya sebagai Sumber Hidup.

Kedua, hidup yang tidak kuatir. Di dalam Matius 6:25, Tuhan Yesus mengajarkan, “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” Hidup manusia sudah ada di tangan-Nya, karena Ia lah yang mengaturnya, tetapi seringkali di dalam hidup, manusia seringkali kuatir akan makanan, minuman, pakaian, dll, mengapa ? Karena mereka diajar bukan kembali kepada Allah, tetapi kembali kepada dirinya sendiri sebagai pusat hidup. Ketika Allah menjadi pusat hidup manusia, maka manusia tidak perlu menguatirkan hidupnya. Perhatikan kalimat terakhir di dalam ayat 25 bahwa hidup itu lebih penting daripada makanan. Mengapa demikian ? Karena kalau kita kekurangan makanan, kita bisa mencarinya kembali, tetapi kalau kita kekurangan makna hidup, bisakah kita mencarinya di dalam dunia ini tanpa kembali kepada Allah ?! TIDAK. Itulah sebabnya mengapa Tuhan Yesus berkata bahwa kita tidak perlu kuatir. Lalu, apa solusi yang Tuhan Yesus berikan agar manusia tidak perlu lagi menguatirkan hidupnya ? Di dalam ayat 31-33, Ia mengajarkan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai? Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” Anak-anak Tuhan tidak perlu kuatir, karena kalau mereka kuatir, mereka sama halnya dengan bangsa-bangsa (manusia) yang tidak mengenal Allah. Orang yang hidupnya terus kuatir sebenarnya meragukan kedaulatan dan pemeliharaan Allah di dalam hidupnya. Tetapi tidak berarti dengan menggunakan kalimat ini, lalu kita berkata bahwa kita tidak perlu bekerja, karena semuanya diberikan Tuhan. Itu anggapan yang konyol. Kita tidak perlu kuatir di dalam hidup karena kita percaya bahwa Tuhan itu memelihara hidup anak-anak-Nya dengan berkecukupan, meskipun demikian Tuhan tetap menuntut kita untuk terus bekerja (lihat ayat 34 yang sering dilupakan, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari.”) Kalau kita tidak perlu kuatir, tidak berarti kita tidak memiliki kesusahan apapun, tetapi Kristus berkata bahwa kesusahan itu masih tetap ada, tetapi biarkanlah kesusahan itu cukup untuk sehari jangan ditambahi dengan kekuatiran yang tidak perlu. Tuhan sangat mengerti benar apa yang diperlukan manusia, sehingga Kristus memerintahkan kita untuk pertama-tama mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, baru setelah itu Ia akan menambahkan berkat-Nya. Jangan menggunakan ayat ini lalu mengajarkan bahwa percaya kepada Tuhan Yesus pasti kaya, diberkati, hidup lancar, dll. Itu bidat/sesat. Ayat 33, kata “akan ditambahkan kepadamu” itu adalah bonus atau akibat setelah kita mempercayakan diri kepada-Nya dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya (mengutamakan-Nya sebagai Tuhan dan Raja dalam hidup kita). Jangan sembarangan menafsirkan Alkitab.

Ketiga, hidup manusia sejati adalah hidup seperti anak kecil (rendah hati). Matius 18:1-6 mengajarkan prinsip ini, “Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: “Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?” Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka lalu berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. Dan barangsiapa menyambut seorang anak seperti ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku.” “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Di sini, Tuhan Yesus menggabungkan konsep “bertobat” dengan menjadi seperti anak kecil. Apa artinya ? Pada waktu itu, para murid sedang berebut kekuasaan ingin menjadi yang terbesar dalam Kerajaan Surga, sehingga Kristus harus menegur mereka dan mengatakan bahwa seorang yang masuk Surga adalah seorang yang bertobat, artinya tidak lagi mementingkan hal-hal duniawi yang merupakan citra manusia lama dan segera memperbaharui hidup dengan mementingkan apa yang Tuhan inginkan. Kedua, setelah bertobat, mereka harus menjadi seperti anak kecil yang memiliki kerendahan hati. Anak kecil meskipun seringkali dihina oleh masyarakat sebagai manusia yang kurang pengalaman, tetapi dipakai oleh Kristus untuk menghina mereka yang katanya sudah berpengalaman, berpendidikan, dll, tetapi sombong dan tidak rendah hati lagi. Yang masuk ke dalam Kerajaan Surga bukan konglomerat, presiden, pembesar negara, pendeta, dll, tetapi mereka yang hidup seperti anak kecil (childlike) yang memiliki kerendahan hati (bedakan dengan childish, yaitu sifat kekanak-kanakan, sifat ini tidak disukai oleh Tuhan). Hidup seperti anak kecil (childlike) adalah hidup yang mulia. Ketika kita belajar hidup menjadi seperti anak kecil, maka kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Surga. Orang-orang yang suka menyombongkan diri sebagai “penghuni surga” lalu “bersaksi” bahwa dirinya berkali-kali naik turun “surga”, berhati-hatilah, kalau ia tidak bertobat, mungkin ia nanti pasti menjadi penghuni neraka. Tidak berarti karena kita telah berbuat baik, maka kita masuk Surga. Tolong baik-baik mengerti ayat ini. Kita bisa rendah hati, itu semua karena Roh Kudus yang menggerakkan kita untuk berbuat baik dan rendah hati. Jadi, kembali, anugerah Allah yang mendahului semua respon manusia, baru setelah anugerah ini dinyatakan, Allah pula lah yang mengaktifkan kehendak manusia untuk berbuat baik bagi kemuliaan-Nya.

Keempat, hidup manusia sejati adalah hidup kudus. Kekudusan hidup diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Matius 18:8-9 yang berkaitan dengan penyesatan, “” Hidup sejati adalah hidup yang kudus. Bagi Tuhan Yesus, percuma saja “masuk ke dalam Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.hidup” (TB-LAI) atau “hidup dengan Allah” (BIS) dengan kedua tangan/kaki yang utuh tetapi salah satu berbuat dosa, lebih baik hidup dengan Allah dengan sebelah tangan/kaki. Ayat ini jangan ditafsirkan dengan sembarangan. Saya sempat membaca ada seorang pria Katolik di Filipina setelah membaca ayat ini lalu memotong kaki dan tangannya. Ini namanya penafsiran Alkitab terlalu harafiah. Itu salah.

Kelima, hidup yang rela membayar harga demi Kristus. Di dalam Matius 19:29, Tuhan Yesus mengajarkan, “Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal.” Orang-orang dunia pasti kesulitan membaca ayat ini, karena mereka pasti berpikir bahwa kalau kita kehilangan sesuatu, pasti kita tidak bisa hidup. Tetapi tidak demikian, Tuhan kita Yesus Kristus mengajarkan hal yang paradoks yang bertentangan dengan pola pikir kita. Kristus mengatakan bahwa justru ketika berani membayar harga demi nama Kristus, maka di saat itulah kita nantinya akan mendapatkan kemuliaan kekal dan hidup sejati (kata “hidup sejati” ditambahkan di dalam Alkitab BIS. Roma 8:18-21 sungguh menguatkan kita ketika kita di dalam bahaya penderitaan karena nama Kristus, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita. Sebab dengan sangat rindu seluruh makhluk menantikan saat anak-anak Allah dinyatakan. Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak Dia, yang telah menaklukkannya, tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.” Inilah pengharapan anak-anak Tuhan di mana mereka akan menerima mahkota kemuliaan setelah mereka menderita aniaya. Itulah paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang rela menyangkal diri sendiri dan hidup 100% bagi Kristus. Ini tidak berarti kita harus menjadi pendeta lalu meninggalkan profesi kita. Tidak ! Hidup yang 100% bagi Kristus adalah hidup yang men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidupnya, mungkin hidup itu terasa sulit, kita akan diejek sok suci, sok religius, dll, tetapi kita harus setia untuk tetap men-Tuhan-kan Kristus, karena di dalam Dialah ada hidup sejati (Yohanes 1:4 ; 14:6).

Keenam, hidup sejati adalah hidup yang beriman. Di dalam Yohanes 3:15-16, Tuhan Yesus bersabda, “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Alkitab BIS mengartikannya, “supaya semua orang yang percaya kepada-Nya mendapat hidup sejati dan kekal. Karena Allah begitu mengasihi manusia di dunia ini, sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan mendapat hidup sejati dan kekal.”) Sungguh menarik, kedua ayat ini. Seringkali kita mengaitkan kedua ayat ini hanya untuk mengungkapkan kasih Allah yang begitu besar kepada kita. Itu tidak salah. Tetapi ayat ini juga bisa mengajarkan tentang makna hidup yang sejati hanya ada ketika kita beriman di dalam Kristus yang berinkarnasi menebus dan menyelamatkan manusia yang berdosa. Di dalam iman itulah kita bisa menemukan hidup. Sebagaimana Roma 1:17b mengatakan, “Orang benar akan hidup oleh iman.” (TB-LAI) atau “Orang yang percaya kepada Allah sehingga hubungannya dengan Allah menjadi baik kembali, orang itu akan hidup!” (BIS) Orang dunia seringkali membalik konsep ini dan mengatakan bahwa orang hidup itu harus beriman, tetapi Alkitab dengan konsepnya yang pasti dapat dipercaya mengatakan bahwa justru ketika beriman di dalam Kristus, manusia pilihan-Nya bisa hidup. Mengapa demikian ? Karena hidup sejati adalah hidup yang terlebih dahulu beriman di dalam-Nya dengan menyerahkan seluruh keberadaan hidup kita kepada-Nya dan menjadikan-Nya sebagai Tuhan dan Raja di dalam hidup kita. Ketika kita percaya kepada sesuatu, di situ kita berani menyerahkan apapun kepada yang kita percayai. Demikian juga kita percaya di dalam-Nya, maka kita juga rela menyerahkan apapun yang ada pada diri kita untuk dikuasai oleh-Nya, karena kita percaya bahwa Allah itu adalah Allah yang Mutlak dan pasti dapat dipercayai.

Terakhir, hidup sejati adalah hidup yang berpengharapan dan menuju kepada kekekalan. Hal ini diajarkan oleh Tuhan Yesus di dalam Yohanes 10:27-28, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorangpun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku.”, Yohanes 11:25,26, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” dan Yohanes 12:25, “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” Di dalam Yohanes 12:25, Alkitab BIS mengartikan dengan lebih jelas, “Orang yang mencintai hidupnya akan kehilangan hidupnya. Tetapi orang yang membenci hidupnya di dunia ini, akan memeliharanya untuk hidup sejati dan kekal.” Apakah dengan ayat ini, kita harus bersama-sama membunuh tubuh jasmani kita supaya kita bisa hidup kekal ? Lalu, apakah kita tidak boleh mencintai diri kita ? TIDAK. Kata “mencintai nyawanya” itu dari bahasa aslinya dapat diartikan mengasihani diri atau menganggap diri berguna, hebat, dll, sehingga ketika kita berlaku demikian, maka justru yang terjadi bukan kita semakin hidup, tetapi malahan kita semakin kehilangan nyawa atau makna hidup sejati kita. Sebaliknya, ketika kita membenci (tidak mencintai) nyawa kita (atau dapat diterjemahkan menyangkal diri kita—bandingkan Matius 16:24), maka yang didapat bukan kehilangan nyawa tetapi kita akan menerima dan menemukan makna hidup sejati dan kekal. Ini namanya paradoks. Dunia kita tidak akan mengerti konsep ini sampai suatu saat Roh Kudus mencerahkan pikirannya. Puji Tuhan, kita adalah salah satu dari antara mereka yang boleh mendapatkan anugerah Tuhan. Inilah indahnya menjadi orang Kristen dapat mengerti paradoks. Hidup sejati adalah hidup yang terus menuju kepada pengharapan akan kekekalan. Akibatnya, di dalam hidup ini, kita tidak perlu dipusingkan dengan hal-hal yang tidak penting, misalnya kekayaan duniawi, kedudukan yang dihormati, dll, itu semua sampah, sama seperti yang diungkapkan Paulus bahwa pengenalannya akan Kristus membuat dia rela menganggap sampah pada semua yang ia anggap kebanggaan pada masa dulunya. Beranikah kita seperti Paulus menganggap sampah semua kemegahan dan kehebatan dunia yang berdosa ini lalu kembali hidup yang berfokus kepada pengharapan akan kekekalan ? Renungkanlah.

Setelah kita merenungkan ketujuh poin makna hidup menurut ajaran Tuhan Yesus, sudahkah kita berani menentukan fokus hidup sejati yaitu kepada dan di dalam Kristus itu sendiri ? Biarlah kita mulai mengambil keputusan untuk segera men-Tuhan-kan Kristus di dalam hidup kita dan menentukan tujuan hidup kita berpijak dari firman Allah, bergantung kepada pimpinan Roh Kudus dan murni untuk memuliakan-Nya selama-lamanya. Soli Deo Gloria. Amin.

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada 19 Mei 2009 inci KARYA TULIS, REFERENSI, RENUNGAN

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tentang Pacaran Kristen

Tidak heran bahwa untuk mencapai tujuan yang agung, orang-orang Kristen bergaul dan berpacaran secara berbeda dengan orang-orang non-Kristen. Pacaran bagi orang Kristen ditandai dengan: Read the rest of this entry »

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 19 Mei 2009 inci CUCI OTAK, REFERENSI, SEBAIKNYA ANDA TAU!

 

Tag: , , , ,

Ketujuh Unsur Pokok Kehidupan Orang Baliem

1. Baliem Firdaus ( Surga )

Ketika para misonaris datang melihat lembah ini dan mengatakan lembah ini sangat agung’ dan berita ini kemudian dapat disebarkan diseluruh wilayah Amerika ‘ bahwa terdapat suatu lembah firdaus, di daerah Pasifik (Khatulistiwa). Banyak orang yang datang berlomba-lomba untuk melihatnya, melalui kegiatan ekspedisi kemudian dilanjutkan dengan Penyebaran injil yang lebih intensif.

2. Baliem Penuh Rahasia

“’Namun jiwa nen puwaga meke elok mekere mawaga mekere eloklek”
artinya : batas tali pusatku ini bagian atas boleh ku bilang padamu, tetapi batas bawa tidak bisa sama sekali
batas bawa ini yang sementara disebut rahasia, karena segalah sesuatu yang hendak sudah dan akan dibicarakan semuanya terdapat dalam satu rahasia adalah dibagian bawa.

3. Baliem Penuh Kesuburan

Keorganikan bahan pangan terdapat sangat berlimpah di alam baliem
segalah jenis tanaman ditanam tanpa memerlukan pupuk
kandungan unsur hara (pH) tanah yang cukup tinggi
tidak heran jika anda pergi ke Wamena melihat banyak jenis sayuran berlimpah disana

4. Pelestarian Alam

Ada pepatah yang mengatakan
Oka-Heleka, Sue-Hagec atoma hinyakmoplakogo
ako warek, awenekak palek welagarek

bahwasanya setiap honai/suku masing-masing memegang satu simbol dari benda-benda alam kemudian mereka mempersembahkanya kepada makhluk, (hewan / tumbuhan) .

5. Struktur Kepemimpinan
Kewa, tulem & Tikmo/Yaman

Artinya : Depan, tengah & Belakang lahir norma (setiap orang mempunyai status kepemimpinan yang jelas sehingga setiap orang balim melaksanakan tugasnya sesuai dengan fungsi / perannya)

6. Rasa Sosial
Weak-hano, kepu-hewelek hinyom hanorogo logonyo
Artinya: sejelek-jelek, sebaik-baik apa pun manusia ini, hiduplah bersama dengan baik.

7. Hukum Adat

Bahwasanya kita dapat melihat bahwa kadang-kadang hukum pemerintah tidak mampu menyelesaikan beberapa perkara, namun dapat diselesaikan dengan hukum adat. Misalnya : dalam hal pernikahan orang Balim menyelesaikanya dengan ”oko woknom/wogosin atau ecoko waganin” (pembayaran mas kawin)

Oleh: Sonimo Lani (Mahasiswa USTJ Fakultas Teknologi Industri & Kebumian, Prodi : Teknik & Manajemen Industri. Semester: 8 [delapan])

 

Tag: , , , , , , , , ,

MASA DEPAN PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA *)

Morality cannot be legislated, but behavior can be regulated.

• Martin Luther King Jr.

Bung Karno sebagai Presiden RI pernah mencela para sarjana hukum dengan mengatakan secara terus terang dan terbuka bahwa “Met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”. Dialihbahasakan dari bahasa Belanda : “Dengan para sarjana hukum kami tidak bisa membuat revolusi”. Beliau juga mengritik para sarjana hukum yang katanya terlalu berpikir berdasarkan buku teks (textbook thinking). Meskipun ucapan Bung Karno tidak seluruhnya benar sebab konseptor UUD 1945 adalah seorang sarjana hukum Indonesia yang bernama Mr.Dr. R. Soepomo. Soepomo adalah seorang yang “brilian” (pandai sekali) sebab Read the rest of this entry »

 
2 Komentar

Ditulis oleh pada 27 April 2009 inci MATERI KULIAH, REFERENSI, SEBAIKNYA ANDA TAU!

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Pluralisme Pasca Reformasi Indonesia: Tantangan dan Arah Baru **

**By Ahmad Suaedy
Executive Director The Wahid Institute Jakarta

Pendahuluan

Fenomena paling menonjol di Indonesia di ujung tahun 2007 dan awal 2008 adalah kekerasan antar kelompok agama. Berbagai catatan akhir dan awal tahun oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang menekuni bidang hak asasi manusia dan kebebasan beragama dan berkeyakinan menunjukkan keprihatian yang mendalam dan deretan catatan tentang arus pasang kekerasan antar kelompok agama (lihat Monthly Report on Religious Issues- the Wahid Institute selanjutnya disebut MRoRI-WI No. 4, 5, dan 6). Namun yang lebih penting dari itu adalah bahwa peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga Ormas-ormas Islam lainnya dalam ikut menentukan persepsi masyarakat tentang mana agama yang sah dan sesat –yang menimbulkan kekerasan– atau seharusnya dilenyapkan dari bumi Indonesia (MRoRI-WI, No. 4). Dan di sisi lain, masih dalam berbagai catatan tersebut, ketidakmampuan aparat negara untuk menghentikan kekerasan dan memberi hukuman kepada para pelaku kekerasan. Alih-alih, aparat negara justeru menangkap dan menghukum mereka yang dituduh sesat atau dalam hal ini, korban.

Dengan ilustrasi di atas hendak dikatakan bahwa dalam berbagai aksi kekerasan tersebut terdapat setidaknya tiga dimensi. Yaitu, dimensi agama yang diperankan oleh organisasi keagamaan seperti MUI dan ormas Islam yang menjadi salah satu aktor penting dalam membentuk perspesi masyarakat; dimensi negara yang diperankan oleh aparat keamanan dan hukum yang tidak mampu memberikan keamanan dan perlindungan kepada korban; dan dimensi civil society yang diperankan para pelaku kekerasan yang secara sosial semestinya memiliki batas-batas solidaritas dan toleransi tertentu yang dibutuhkan. Jika masing-masing hal tersebut diluaskan dimensinya, maka aparat negara bisa diikutkan di dalamnya berbagai aturan dan perundang-undangan yang tidak mendukung atau bahkan cenderung bertentangan dengan Konstitusi negara dan mengancam harmoni antar kelompok masyarakat dalam Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.

Dimensi agama dalam realitasnya juga menyangkut berbagai ajaran dan metode dakwah yang cenderung black campaign atas agama dan kelompok lain, termasuk di dalamnya materi dan kirukulum pendidikan keagamaan. Hal ini sungguh-sungguh dirasakan tidak membantu terbangunnya sebuah etika dan tatanan sosial yang kondusif bagi terjaganya pluralitas dan ke-bhinneka-an yang menjadi ciri utama bangsa Indonesia dan tonggak penting bagi terbangunnya masyarakat dan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Sedangkan dimensi civil society tercakup di dalamnya terbangunnya berbagai kelompok anti pluralis dan fundamentalis dengan klaim kelompoknya paling benar dan karena itu boleh melenyapkan pihak lain, baik oleh dirinya maupun berupa desakan terhadap pemerintah.

Artinya pula, 10 tahun reformasi Indonesia sejak jatuhnya rezim Orde Baru, masih menyisakan suatu situasi yang mungkin saja berbalik (set back) jika hal demikian tidak bisa diatasi oleh pemerintah melalui penegakan hukum, toleransi beragama yang diperlukan serta terbangunnya solidaritas yang dibutuhkan dalam suatu masyarakat yang dewasa. Prosedur demokrasi yang nyaris sepenuhnya liberal di Indonesia seperti multipartai dalam pemilu yang relatif bebas (UU tentang Partai Politik No. 31/Th. 2004, sedang diperbaharui di parlemen untuk Pemilu 2009) dan pemilihan langsung presiden serta kepala daerah (UU tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden No. 23/Th. 2003), serta desentralisasi atau otonomi daerah (UU No. 25 th. 2004 dan kemudian diperbaharui UU No. 32 Th. 2004) menyisakan problem sosial yang besar berupa belum terbangunnya kultur demokrasi yang lebih kokoh.

Kerangka Tinjauan

Pluralisme dalam definisinya yang komprehensif bisa ditunjukkan seperti oleh Merriam-Webster bahwa pluralisme adalah “a state of society in which members of diverse ethnic, racial, religious, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization.” Dengan demikian, pluralisme bisa tidak hanya menyangkut agama melainkan etnisitas, kelompok sosial dan ras. Dengan kata lain, dengan menyebut pluralisme bisa dicakup di dalamnya multikulturalisme dan aspek-aspek lain.

Namun, definisi demikian perlu segera diberi catatan bahwa kata pluralisme harus tidak diletakkan sebagai kata benda yang statis, dimana seolah situasi seperti itu tercipta secara given dan dengan sendirinya, melainkan definisi demikian musti dipahami sebagai kata kerja. Yakni, bisa diuraiakan bahwa pluralisme sebagai suatu usaha untuk menciptakan situasi demikian. Diletakkan dalam kerangka demokrasi, maka pluralisme sesungguhnya menjadi bagian terpenting dan menentukan dalam proses demokratisasi. Tanpa pluralisme, artinya terciptanya situasi demikian, bisa dikatakan demokrasi tidak akan pernah terjadi.

Dengan demikian pula, betapapun secara prosedural Indonesia kini sudah demikian jauh, bahkan mungkin melampaui apa yang dipersyaratkan oleh demokrasi liberal sekali pun, jika kondisi pluralisme tidak tercipta, maka demokrasi prosedural tidak berimplikasi apa-apa atas kehidupan masyarakat yang lebih dewasa dan sejahtera. Pluralisme mungkin bisa disetarakan dengan adil atau terciptanya keadilan dalam ekonomi dan kesejahteraan. Betapapun demokratisnya dalam prosedur politik, tak memiliki implikasi apa-apa tanpa adanya peningkatan kesejahteraan rakyat dan terciptanya keadilan dalam kehidupan ekonomi dan kesetaraan dalam hukum serta kesempatan kerja, misalnya.

Mengikuti refleksi dari Bob Hefner atas perkembangan peran kelompok-kelompok Islam atas demokratisasi di Indonesia tahun 19990an, umpamanya, dikatakan bahwa “Democracy requires a noncoercive culture that encourages citizens to respect the rights of others as well as to cherish their own. This public culture depends on mediating institutions in which citizens develop habits of free speech, participation, dan toleration (Hefner, 2000:13). Dengan kata lain pula, jaminan untuk kebebasan beragama dan berekspresi, seharusnya lebih tinggi dari sebelumnya, baik jaminan hukum dan politik oleh pemerintah maupun toleransi dan solidaritas dari masyarakat.

Tulisan ini akan mencoba melihat perkembangan paska reformasi terhadap tiga dimensi tersebut, bagaimanakah kenyataan pluralisme atau kebebasan beragama pada umumnya dan apa tantangan-tantangan ke depan. Di akhir tulisan akan coba ditelusuri sejumlah kelompok atau komunitas yang berperan sebagai, apa yang oleh Hefner disebut, “mediating institutions,” untuk mengantar masa depan tersebut. Dan pada akhirnya diperlukan penilaian, sejauhmana kelompok dan komunitas tersebut mampu memerankannya.

Konstitusi dan Hukum dalam Teori dan Praktik

Dari perspektif konstitusi-tekstual, mungkin boleh dikatakan, seperti juga dalam prosedur demokrasi, Indonesia menuju sempurna dalam jaminan kebebasan beragama dan berekspresi. Lebih dari itu mungkin bisa diekplisitkan bahwa eksistensi negara Indonesia telah mendekati karakter negara sekular yang tidak memihak salah satu agama tertentu dan memberikan jaminan bagi semua agama dan kepercayaan. Ini bisa dilihat dari substansi dan pasal-pasal dalam konstitusi UU 1945 –amandemen–, misalnya pasal 28 ayat e yang secara eksplisit menjamin warga negara untuk memeluk agama dan keyakinan tanpa batasan; adanya ratifikasi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui UU No. 12 Tahun 2005; serta UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Semua itu memberi jaminan kepada warga negara tanpa pandang bulu dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta berekspresi. Dan yang jauh lebih penting lagi bahwa semua UU tersebut menugaskan kepada negara terutama pemerintah untuk melaksanakannya, tidak lupa ditimpali dengan sangsi jika pemerintah tidak melakukannya.

Perjuangan seperti ini sungguh mengalami liku-liku yang tidak mudah. Dimulai dari pembangunan kesadaran masyarakat dan kantong-kantong pergulatan, maka hal itu kemudian menjadi kesadaran umum masyarakat di masa reformasi khususnya ketika disusunnya amandemen. Saya sendiri terlibat dalam pergulatan itu sejak mahasiswa. Katika belajar di IAIN Sunan Kalijaga awal sampai akhir 1980an, mulai terbangun gerakan mahasiswa untuk mengkritik otoritarianisme Orde Baru. Sembari mengkritisi dimensi politik dan sosial Orde baru, kami bersama sejumlah teman dari IAIN dan UI Yogyakarta bekerjasama dengan mahasiswa dari UKSW Salatiga untuk mendampingi korban pembangunan waduk Kedungombo. Dari sanalah, setidaknya, pengalaman saya mulai membangun sinergi antar agama bukan hanya dalam isu agama itu sendiri melainkan dalam isu pembangunan pemerintah Orde Baru pada umumnya. Awal 1990an, saya terlibat lebih intensif dalam isu antar agama dengan terlibat di dalam lembaga Interfidei (Institute for Inter Faith Dialogue) bersama di antaranya Dr. TH. Sumartana (alm.) dan Dr. Djohan Efendy serta KH. Abdurrahman Wahid.

Dari sanalah saya mulai sangat intensif untuk kegiatan tersebut. Pertengahan 1990an saya pindah ke Jakarta dengan terlibat di Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), kemudian di ISAI (Institute Studi Arus Informasi) serta kemudian di the Asia Foundation. Semuanya kegiatan tersebut memgambil tema demokrasi dan dialog antara agama dan keyakinan untuk kritisisme orientasi pembangunan Orde Baru, Dan kemudian melakukan kajian terhadap berbagai hambatan atas harmoni antar agama dan antar kelompok di Indonesia. Awal 2004, ikut mendirikan the Wahid Institute dan mendampingi Gus Dur dalam mengawal isu islam, tolernasi, perdamaian, pluralsime dan multikulturalisme.

Hingga saat ini, saya merasakan bahwa meskipun secara substansial terbangun sebuah basis negara yang sangat kuat untuk suatu kehidupan pluralisme dan multikulturalisme atau menggunakan kata yang lebih formal Bhinneka Tunggal Ika. Namun, konstitusi yang bersifat tekstual itu ternyata jauh dari jaminan riil dalam masyarakat. Dalam konteks hukum, ada dua masalah mendasar, belum lagi kalau dikaji dalam praktiknya. Pertama, bahwa masih banyak perundang-undangan dan aturan yang bisa mengeliminir dan bahkan bertentangan dengan jaminan-jaminan konstitusional tersebut yang ada sebelumnya, namun tidak gugur dengan sendirinya dengan lahirnya penyempurnaan konstitusi tersebut. Salah satu masalah yang nyata menjadi halangan bagi penegakan kebebasan beragama adalah pasal 156a KUHP yang merupakan realisasi dari UU PNPS No. 1/1966. Yaitu larangan seseorang atau sekelompok orang untuk mempraktikkan dan menafsirkan keyakinan yang menyimpang dari agama utama, berupa enam agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, atau pasal tersebut populer disebut pasal “penodaan agama.”(Rumadi dkk., 2007)

Kedua adalah penyusunan dan berbagai draf aturan atau perundang-undangan baru yang sengaja maupun tidak bertabrakan dengan pasal dan prinsip dari penyempurnaan konstitusi tersebut. Salah satu contoh paling menyolok adalah pasal-pasal dalam RKUHP dalam masalah agama. Pasal tentang “penodaan agama” yang dalam KUHP hanya satu pasal 156a, yang selama masa reformasi telah “memakan” banyak korban, dirinci lebih jauh menjadi 8 pasal dalam RKUHP yang dari perspektif kebebasan beragama, praktis sebagian besar bertentangan dengan prinsip dalam konstitusi tersebut. Saya ikut terlibat kajian kritis terhadap rancangan tersebut dan berbahaya bagi hubungan antar agama dan kelompok di Indonesia di masa depan (Rumadi dkk., 2007). Ini belum termasuk masuknya berbagai pasal anti pluralisme dalam berbagai UU dan RUU, seperti pasal tentang “agama yang diakui” dalam UU Kewarganegaan dengan serta merta mengabaikan kepercayaan dan keyakinan non-agama resmi seperti aliran kepercayaan (dalam konteks Indonesia) atau indigenous bilief yang notabene adalah kepercayaan asli Indonesia; pasal-pasal dalam draf RUU anti Pornografi, antara lain dengan mendefinisikan porno sebagai jenis pakaian perempuan; Kesehatan, yang melarang transfusi darah orang lain berbeda agama; serta Waris, larangan mewariskan orang berbeda agama meskipun hubungan orang tua-anak; dan sebagainya.

Dalam praktik hukum juga tidak kalah kontradiksinya dengan prinsip-prinsip konstitusi. Saya di WI mencoba melakukan riset tentang berbagai kasus tuduhan penodaan agama melalui pasal 156a KUHP, diterapkan kepada orang atau sekelompok orang yang dituduh sebagai menodai agama oleh sekelompok lain yang secara sosial dan politik lebih kuat atau, saya mengalami kesulitan mencari kata lain, yaitu lebih “biadab”. Namun yang lebih mengenaskan adalah bahwa, pengadilan selalu mengikuti tuntutan kalangan yang kuat Dan biadab ini yang melakukan apa saja termasuk demonstrasi, intimidasi dan kekerasan untuk mempengaruhi keputusan pengadilan, ketimbang mencoba menegakkan rasa keadilan masyarakat dan secara obyektif menegakkan konstitusi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jika arah demikian diparalelkan dengan fenomena munculnya berbagai RUU, termasuk di dalamnya RKUHP yang dalam pasal-pasalnya terdapat berbagai kontradiksi dengan konstitusi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, maka pesimislah yang muncul akan masa depan Indonesia.

Perda Bernuansa Agama

Paralel pula dengan perkembangan hukum, maka munculnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) yang bernuasa agama atau di Aceh disebut “Kanun”, perlu diberi catatan tersendiri. Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah menghitung maraknya Perda yang bernuansa agama (khususnya Islam) akhir-akhir ini, mislanya, berjumlah sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, belum termasuk SK (Surat keputusan) Bupati, Walikota dan Gubernur dan draf yang belum diputus oleh DPRD tentang persoalan ini. Maka, jika pertumbuhan itu terus berlanjut, mau tidak mau memang mungkin akan memengaruhi arah perkembangan hukum nasional atau bahkan konstitusi. Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun Nisa dkk., 2007) tentang anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan dengan alasan bukan ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran lebih besar tentang perkembangan tersebut.

Meskipun tidak semua munculnya Perda-perda tersebut selalu dimotivasi oleh dorongan agama melainkan juga disebabkan karena pragmatisme politik dan merupakan outlet bagi mereka yang terdesak oleh tunutan hukum seperti korupsi, dan sebagian lagi berkat kian canggihnya mesin fotocopy, namun perkembangan yang menyerupai deret ukur dan cenderung menyebar di berbagai daerah patut menjadikan waspada. Meski demikian, semua fenomena itu tidak perlu digeneralisir. Dalam analisis keseluruhan Perda-perda tersebut bisa dibagi dalam tiga kategori. Pertama, Perda-perda yang berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan moral masyarakat seperti perda tentang anti perjudian, anti prostitusi dan anti minuman keras. Sesungguhnya isu demikian bukan hanya menjadi keprihatinan dan komitmen orang beragama tertentu melainkan hampir semua orang dengan motivasi masing-masing.

Kedua, aturan-aturan yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban ritual keagamaan. Ini seperti aturan tentang kewajiban bisa baca Al-Qur’an, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan untuk orang-orang Islam, namun tetap berpotensi diskriminatif terhadap orang Islam sendiri maupun terhadap orang lain. Sedangkan ketiga, adalah aturan yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan baju koko bagi laki-laki di hari Jumat. Aturan terakhir ini, pada praktiknya sering menimbulkan diskriminatif baik dalam pelayanan publik oleh pemerintah maupun di kalangan masyarakat sendiri. Bukan hanya kepada orang non-Muslim melainkan bahkan diskriminatif terhadap kalangan Islam sendiri (Suaedy dkk., 2007).

Dengan kenyataan demikian memang tidak semua Perda-perda itu layak diangkat pada tingkat konstitusi melainkan harus dilihat dalam beberapa level sehingga responnya menjadi proporsional. Pertama-tama, perlu terlebih dahulu diberi ukuran paradigmatik dan substansi tentang perda-perda atau aturan-aturan tersebut dengan argumen yang memadahi. Misalnya, dasar negara Pancasila dan UUD 1945 dengan segala amandemannya adalah ukuran utama, sedangkan prinsip-prinsip hak asasi manusia harus pula ikut mendukungnya. Dalam aturan-aturan yang dikategorikan sebagai public order atau keprihatinan umum seperti perjudian, prostitusi dan minuman keras sangat sulit untuk direspon ke tingkat substansi dan paradigamtik seperti itu, karena ia menjadi keprihatinan dan komitmen bersama masyarakat.

Yang harus dilakukan terhadap aturan semacam ini adalah pemantauan atas tujuan dan langkah-langkah penerapannya, misalnya pelarangan yang tanpa jalan keluar sehingga menimbulkan pengangguran massal dan penderitaan. Juga cara-cara penegakannya (enforcement), misalnya menggunakan cara-cara kekerasan dan kriminalisasi yang berlebihan serta diskriminatif. Dengan demikian advokasi yang dilakukan pun akan lebih memenuhi sasaran. Tanpa ada ukuran yang nyata dan respon yang terukur seperti itu dikuatirkan akan terjadi perdebatan yang tanpa ujung pangkal.

Ukuran berikutnya adalah prosedur pembuatan dan landasan atau konsideran dari aturan-aturan tersebut. Salah satu ukuran penting dalam hal ini adalah UU no. 10 tahun 2004 tentang prosedur pembuatan perundang-undangan, termasuk di dalamnya Perda dan aturan lainnya. Konsistensi konsideran yang mendasari aturan-aturan tersebut penting untuk diuji dengan landasan hukum yang berlaku di Indonesia. Ini penting mengingat, ada beberapa Perda yang diduga kuat hanya merupakan fotocopy dari daerah lain sehingga mengabaikan partisipasi masyarakat yang penuh sebagaimana diatur dalam UU tersebut dan niat baik tentang usaha menyelesaikan masalah sosial di daerah itu. Ukuran sangat penting lainnya tentu saja adalah, jika konsideran juster tidak mengacu pada konstitusi dan perundang-undangan. Dalam kasus SK Bupati dan Walikota tentang larangan aliran tertentu di daerahnya, misalnya, justeru merujuk pada fatwa MUI Dan mengabaikan konstitusi dan perundang-undangan.

Dengan ukuran demikian, usaha untuk melakukan advokasi akan terfokus pada kesalahan dan penyimpangan aturan itu tanpa harus mengangkatnya terlalu tinggi pada level konstitusi, misalnya. Namun, yang paling berbahaya dari semua itu adalah campur tangan pemerintah atas penilaian salah atau benar dan sesuai atau sesat atas kepercayaan yang berujung pada pelarangan aliran, keyakinan dan agama tertentu, seperti diperankan Bakor-Pakem (Badan Koordinasi-Pengawasan Agama dan Kepercayaan dalam Masyarakat) yang dikordinasi oleh Kejaksaan (MRoRI- WI, No. 6).

Ukuran berikutnya adalah konteks politik lokal. Jika memang terbukti bahwa Perda atau aturan sejenis benar- benar hanya komoditi politik seorang politisi untuk tujuan meraih jabatan tertentu, advokasi bisa difokuskan pada komoditifikasi politik tersebut. Di Sulawesi Selatan baru-baru ini, misalnya, terbukti bahwa “dagangan” Syari’ah Islam tidak memberikan dampak signifikan bagi terpilihnya seorang pasangan Gubernur. Daerah yang terkenal “maniak” Syari’ah Islam itu justeru memilih pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang mengusung visi pluralisme dan toleransi.

Terkadang masalah politik memang menjadi masalah besar dan ini menuntut keberanian dan visioner dari para pemegang pemerintahan di pusat. Tetapi kenyatannya hal itu tidak dilakukan. Secara teoritik, SK-SK Bupati, Wakilkota dan Gubernur yang secara hukum tidak prosedural, misalnya dengan mendasarkan pada fatwa MUI, dan juga Perda-perda yang menyimpang seharusnya cukup dibatalkan oleh Mendagri. Tetapi karena isu itu bersifat sensitif dan kandungan politiknya tinggi maka pemerintah lebih memilih diam, kuatir dengan reaksi politik yang akan menjatuhkan kepercayaan masyarakat. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah keberanian pemerintah untuk mengambil resiko politik untuk meluruskan penyimpangan yang terjadi (Suaedy, 2006). Kasus pembatalan pemerlakukan Perda Zakat lombok Timur yang memotong gaji PNS secara sewenang-wenang dengan alasan zakat, bisa dibata;lkan oleh Mendagri. Sayangnya, SK itu menunggu ada demonstrasi besar-besaran dan pemogokan.

Agama Privat dan Agama Publik

Sekali lagi, penegasan konstitusi akan jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan mendapatkan gangguan serius dari makin menguatnya kelompok-kelompok agama dalam merespon perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah namun bukan dalam kerangka memperkuat demokrasi seperti pemberantasan korupsi dan kolusi, melainkan sebaliknya memperkukuh primordialisme berdasarkan kelompok keagamaan dan kesamaan keyakinan. Bagi Ormas-ormas Islam, di era dimana orang bisa berbicara apa saja dan pemerintah tidak memiliki pilihan lain kecuali mendengar tuntutan mereka yang bersuara keras, apalagi dengan membawa-bawa atas nama agama atau kelompok agama tertentu, maka penyimpangan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum makin menjadi mungkin.

Situasi ini ditimpali dengan masih hijau pengalaman demokrasi dalam mengelola aspirasi masyarakat terutama bagi para pemimpin dan kepala daerah. Tidak mengherankan jika suatu pemerintahan, tidak hanya di daerah melainkan juga di pusat, bukan hanya eksekutif melainkan juga legislatif dan judikatif, lebih mendengarkan dan mengutamakan tunaian tuntutan mereka yang bersuara keras dan terkadang disertai dengan intimidasi dan kekerasan meskipun kecil jumlahnya, ketimbang menunaikan keadilan bagi mereka yang berjumlah besar namun diam (silent majority). Dengan demikian, menguatnya pengaruh kelompok agama ini seiring belaka dengan menebalnya kendala bagi tegaknya demokrasi dan penegakan konstitusi dan hukum.

Menguatnya peran MUI dalam hal ini patut mendapatkan sorotan khusus. Kevokalan MUI dalam menyuarakan berbagai pandangan dan tuntutannya juga paralel dengan kecenderungan ini. Yang membuat MUI lebih kuat dari ormas keagaman umumnya adalah karena keterkaitan lembaga agama bikinan diktator Orde Baru Soeharto ini dengan pemerintah. Karena sejak awal didirikannya diniatkan sebagai instrumen pemerintah otoriter untuk menyangga kekuasaan dan menaklukkan gerakan keagamaan anti pemerintah, maka ia memiliki fasilitas yang sangat besar. Ia, misalnya, memiliki cabang di seluruh Indonesia, secara formal dari kabupaten hingga provinsi dan pusat dan memiliki struktur informal di tingkat kecamatan. Seluruh struktur tersebut mendapatkan biaya dari pemerintah. Sementara di pihak lain, MUI bisa mencari dana tambahan dari proyek-proyek keagamaan yang diciptakannya tanpa harus dikontrol oleh pemerintah dan publik, seperti dari sumber proyek labelisasi halal untuk makanan, kedudukannya yang penting dalam Bank Syari’ah di seluruh perbankan yang membuka gerai Syari’ah, serta proyek-proyek politik tertentu dari pemerintah seperti sosialisasi RUU tertentu yang berkaitan dengan isu agama (Suaedy dkk., 2006).

Di lain pihak, sistem keanggotaan MUI tidak bersifat individual melainkan ormas-ormas Islam yang ada. Sehingga ormas Islam apapun yang doktrin dan akidahnya sesuai dengan penilaian MUI, maka bisa bergabung. Akibatnya MUI seolah memiliki hak prerogatif untuk menentukan sah dan tidak, sesuai dan sesatnya suatu keyakinan untuk menjadi anggota. Ahmadiyah, misalnya, karena dianggap menyimpang bukan saja tidak bisa menjadi anggota MUI melainkan MUI mendesak pemerintah untuk melarangnya (MRoRI-WI No. 4). Sementara betapapun subversifnya secara politik, jika MUI menilai tidak ada penyimpangan secara akidah akan diakomodasi. Contoh paling nyata adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dalam doktrinnya, HTI menyatakan sebagai organisasi politik yang anti demokrasi atau dalam bahasa agama meng-haram-kan demokrasi. Dengan demikian, dari sudut manapun HTI adalah anti Pancasila dan UUD 45 sebagai landasan filosofi dan konstitusi Indonesia, namun keberadaanya diakomodasi oleh MUI, dan bahkan anggota HTI menggurita di dalam struktur MUI dari pusat sampai daerah (Suaedy dkk., 2006). Tidak bisa dibayangkan jika suatu saat HTI menjadi besar dan hampir pasti akan berhadapan dengan eksistensi Indonesia sebagai negara nasional.

Sistem keanggotaan MUI yang demikian juga memungkinkan produk-produk dan fatwa yang dikeluarkannya cenderung konservatif dan mengikuti arus radikal Islam. Ini disebabkan karena ormas-ormas Islam yang moderat tidak terlalu banyak meskipun dihitung dari jumlah anggotanya sangat besar. Sementara dalam persidangan dan pengambilan keputusan setiap anggota MUI yang berupa ormas mendapatkan representasi atau wakil yang sama. Bertapapun besarnya jumlah anggota Muhammadiyah dan NU konon hingga 25 sampai 40an juta anggota karena satu organisasi hanya akan mendapatkan representasi yang sama dengan FPI (Fron Pembela Islam), HTI dan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia) yang mungkin memiliki hanya ratusan ribu anggota saja. Di sisi lain, jumlah ormas Islam moderat tidak terlalu banyak dibandingkan dengan ormas konservatif dan radikal yang tumbuh bagai cendawan di musim hujan.

Akibat lanjutnya adalah bahwa organisasi Islam dengan doktrin apapun, termasuk organisasi dan gerakan fundamentalis yang anti demokrasi dan anti Pancasila sekali pun, terkecuali yang secara nyata dicap sebagai teroris seperti Jamaah Islamiyah (JI), bisa menjadi anggota MUI dan mendominasinya. Dari kenyataan demikian, maka MUI sesungguhnya bisa dikatakan sebagai bungker dari organisasi dan gerakan fundamentalis dan subversif di Indonesia. Lebih dari itu, karena MUI dibiayai oleh pemerintah, maka organisasi dan gerakan fundamentalis juga mendapatkan subsidi dari pemerintah melalui MUI tersebut. Pemerintah, dengan demikian, melakukan capacity building untuk gerakan fundamentalis dan radiakl, bahkan yang anti pacnasila dan UUD 1945 (Suaedy dkk., 2006). Fenomena ini menguat secara menyolok sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono (SBY) disebabkan, saya kira, karena SBY lebih dekat kepada partai-partai politik Islamis yang setia mendukungnya menjadi presiden seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), PBB (Partai Bulan Bintang), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terkecuali Partai Demokrat yang sekuler dimana SBY menjadi salah seorang yang membidani kelahirannya, namun tidak memiliki topangan intelektual yang cukup kuat, praktis SBY bertopang pada kalangan Islamis.

Kaitan SBY dengan partai-partai Islamis yang secara hidden dan open hendak menegakkan pendasaran negara pada Syari’ah Islam, diperkuat dengan diangkatnya ketua dan juru bicara paling vokal MUI tentang anti pluralsime, anti kebebasan beragama dan keyakinan, K.H. Ma’ruf Amin, sebagai anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) bidang keagamaan. Dengan demikian, cukup jelas kemana arah pandangan dan policy keagamaan, kebebasan beragama dan keyakinan, di bawah presiden SBY (Lihat Van Zorge, January 29, 2008). Begitu gegap gempitanya penyesatan dan kekerasan antar agama, hampir tidak pernah terdengar suara presiden tentang keinginannya agar aparat negara lebih tegas dan adil terhadap pelaku kekerasan agama serta keperpihakannya untuk melindungi para korban penyesatan dan kekerasan. Juga tidak pernah terdengar suara presiden SBY tentang keinginannya untuk menegakkan hak-hak asasi manusia dan konstitusi dalam jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebaliknya, presiden dalam suatu kesempatan membuka Rakernas MUI di bulan November 2007 justeru menunjukkan dukungannya secara eksplisit dan hendak mengikuti semua keputusan MUI. Pada Rakernas tersebut MUI mengeluarkan fatwa 10 kriteria aliran sesat sebagai pedoman masyarakat Muslim untuk memantau secara mandiri aliran-aliran sesat. Akibatnya sudah jelas, makin tak terkendalinya kekerasan antar agama yang cenderung liar (MRoRI-WI No. 4).

Dengan demikian konstitusi yang telah secara mapan menempatkan agama sebagai masalah privat dan memberi kebebasan dan bahkan perlindungan tanpa pandang bulu kepada semua warga negara dalam praktiknya, terjadi sebaliknya. Negara dengan segala instrumennya di bawah pemerintahan SBY, ikut campur sangat dalam, dalam soal-soal keagamaan dan keyakinan warga negara (Van Zorge Report, January 29th, 2008).

Kelompok Agama: Permanen dan Non-permanen

Tidak diragukan lagi, betapa gigih dakwah dan perjuangan yang dilakukan oleh kalangan konservatif dan fundamentalis untuk mengajak masyarakat mengikuti ide dan gerakan, bukan hanya mereka yang beragama di luar Islam dan mereka yang tidak beragama melainkan kepada umat Islam itu sendiri. Mereka tampaknya juga melakukan dengan segala cara bukan hanya mengajak secara sukarela tetapi berusaha keras agar negara dan pemerintah berpihak dan mengikuti jejak mereka. Mereka, misalnya, secara gerilya mendatangi tokoh-tokoh agama lokal yang kharismatis dan memiliki banyak pengikut untuk mendukung dan mengikuti jejak mereka, kalau perlu diberi kedudukan yang tinggi dalam organisasi tersebut meskipun bukan yang menentukan. Sehingga tidak heran jika cukup banyak tokoh-tokoh agama lokal yang selama ini cenderung moderat dan tergabung dalam organisasi moderat, tiba-tiba menjadi pendukung dan tidak jarang menjadi juru bicara mereka.

Kelompok ini juga tidak tabu untuk masuk dalam segala lini dalam birokrasi pemerintah dan menjadi bagian dalam organisasi semi pemerintah seperti MUI. Jika dimungkinkan mereka merintis inisiatif berbagai aturan dan program untuk bisa akses dan menyedot dana APBN dan APBD untuk memperkuat perjuangan mereka, termasuk di dalamnya inisitaif Perda dan aturan lain untuk mengeluarkan dana-dana publik tersebut. Contoh yang jelas adalah, Perda tentang kewajiban bisa baca Al-Qur’an bagi pegawai negeri yang hendak naik pangkat dan pelajar yang ingin masuk jenjang pendidikan lebih tinggi dari sebelumnya.

Tidak hanya terbatas pada itu, untuk menunjukkan dominasinya mereka menciptakan kelompok-kelompok baru untuk melakukan intimidasi dan peyerangan jika perlu, yaitu semacam aliansi organisasi-organisasi kelompok radikal dan fundamentalis untuk kebutunan tertentu. FUUI (Forum Ulama Umat Islam) di Jawa Barat, misalnya, di samping melakukan berbagai intimidasi dan kekerasan juga pernah mengeluarkan fatwa hukuman mati secara Islam bagi Ulil Abshar Abdalla, koordinator dan tokoh dalam Jaringan Islam Liberal (JIL). GUII (Gerakan Umat Islam Indonesia) di Bogor juga pernah melakukan penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Parung dan Bogor. Sementara FUIY (Forum Umat Islam Yogyakarta) berusaha keras untuk mengordinir kelompok-kelompok Islam di Yogyakarta untuk menuntut legislasi Syari’ah Islam di wilayah kerajaan itu.

Semua gejala tersebut belum termasuk kelompok-kelompok yang secara permanen dan spontan terbentuk untuk tujuan tertentu seperti merazia tempat hiburan seperti bar dan diskotik, hotel, gereja dan tempat ibadah lainnya, dan sebagainya dengan dalih menegakkan moral Islam, serta tidak jarang mengintimidasi dan memeras tempat ibadah non-Islam untuk menarik pajak tak resmi kepada mereka. Ketidakpedulian pemerintah terhadap gejala premanisme agama atau lebih dikenal “preman berjubah” ini menjadikan masyarakat apatis, dan memilih diam ketika terjadi peristiwa tersebut ketimbang mencoba menegakkan solidaritas dan etika hidup bersama.

Arus Balik: Di Persimpangan Jalan

Cerita panjang menguatnya arus utama anti pluralisme tidak mengabaikan adanya arus balik yang menantang gerakan tersebut. Dalam laporan riset saya tentang sebuah riset Gerakan Muslim Progresif (GMP), sesungguhnya gerakan tersebut memiliki potensi sangat besar. Mereka juga tidak kalah gigih dan tersebar di semua daerah bahkan sampai ke pelosok dimana ada perguruan tinggi atau pesantren (Islamic Boarding School) ada. Tiga tema utama dan satu tema bersifat lintas umumnya diusung oleh mereka, yaitu pluralisme, kesetaraan gender dan keadilan dan satunya lagi bersifat lintas bukan hanya diusung oleh kalangan GMP tetapi juga kalangan sekuler dan fundamentalis, yaitu tema seperti korupsi, budget pro-poor dan sebagainya.

Dalam GMP tersebut, meskipun tidak semua mengusung tiga tema utama dalam waktu bersamaan tetapi mereka umumnya memiliki perspektif yang tuntas tentang masing-masing isu. Maksudnya, sebuah kelompok atau NGO yang mengusung tema pluralisme di dalamnya terkandung perspektif kesetaraan gender dan keadilan, dan sebaliknya. Mereka juga memiliki jaringan informasi dan advokasi yang cukup kuat dan responsif. Mereka memiliki berbagai mailing lists untuk tujuan komunikasi dan penyebaran informasi, namun yang paling konsisten dan efektif adalah advokasi-kub@yahoogroups.com yang sejak tahun 2004an hingga kini masih hidup dan efektif (Suaedy, 2007a).

Namun berbeda dengan kalangan konservatif dan fundamentalis yang lebih terpusat dan cenderung menghalakan segala cara, termasuk black campaign, intimidasi dan kekerasan, GMP cenderung terdesentralisasi, anti kekerasan dan cenderung menggunakan bahasa yang terukur. Pada isu atau kasus tertentu, suatu NGO bisa berada di pusat atau menjadi koordinator, tetapi pada saat yang lain bisa menjadi hanya partisipan atau pendukung. Itu semua tergantung wilayah kasus, keterkaitan dengan program kelompok atau NGO itu, dan ketersediaan waktu dan dana yang dibutuhkan. Namun mereka share dalam informasi, jaringan dan bahkan pendanaan dan SDM.

Riset saya tersebut menemukan dua pilar utama dalam GMP ini. Yaitu pertama, saya sebut “kelompok kerja”. Mereka bisa berupa kelompok diskusi, NGO, dosen PT, dan peneliti yang bisa bekerja secara sistematis dan membangun program berjangka secara terukur, serta pencapaian secara bertahap, dan bahkan mendatangkan sumber dana meskipun belum tentu mencukupi. Namun kelemahan mereka adalah mobilisasi local resources baik berupa dukungan dan dana. Di lain pihak ada tiang berupa “tokoh agama lokal,” terutama kiai. Kiai lokal yang memiliki berspektif GMP, bahkan seringkali menjadi juru bicara utama untuk memberikan pemahaman kepada grassroots tentang paham yang dikembangkan. Mereka memang tidak bisa bekerja sistematis seperti kelompok pertama, tetapi mereka sangat efektif untuk memobilisasi dukungan lokal, dan bahkan sumber dana lokal. Seorang kiai bisa berbicara (pengajian) di empat sampai lima tempat dalam sehari, dan masing-masing event bisa diikuti ratusan sampai ribuan audiens. Betapa besarnya peran tokoh agama lokal ini dalam mendesiminasi gagasan dan dukungan tersebut.

Namun tampaknya mereka masih ragu, untuk tidak dikatakan belum memiliki kemampuan, untuk mengombinasikan antara gagasan dan dukungan dengan agenda perubahan politik praktis, policy, dan mobilisasi dana publik. Jarang sekali kelompok ini mendorong untuk lahirnya sebuah peraturan atau perundangan yang di satu pihak ditujukan untuk mengimplementasikan dan melindungi gagasan tersebut, tetapi di lain pihak mampu memobilisasi dana publik semisal dari APBN dan APBD untuk memperkuat terealisasinya agenda-agenda mereka (Suaedy, 2007b). Jadinya mereka hanya berputar di sekitar pelatihan, penyadaran dan pendidikan belum banyak menyentuh perubahan perundangan, policy dan kepemimpinan politik secara langsung.

Pada waktunya, GMP harus bergerak maju mengambil posisi sentral dalam perubahan. Sebagai contoh tiga partai utama yang mengusung nasionalisme dan nasionalis-Islam adalah kuat, yaitu PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang nasionalis-sekuler dan PKB (Partai Kabngkitan Bangsa) serta PAN (Partai Amanat Nasional) yang keduanya Islam-nasionalis. Namun aktor dan kelompok GMP tampaknya belum secara langsung mampu membangun sinergi untuk tujuan realisasi agenda bersama. Berbeda misalnya dengan PKS-PPP-PBB dengan kalangan konservatif-fundamentalis dengan menjadikan PD sebagai kuda tunggangan disebabkan karena kedekatannya dengan SBY yang kebetulan sedang menjabat presiden. Sementara Partai Golkar cenderung pragmatis, karena bisa berbeda wajah dan orientasi disebabkan karena perbedaan waktu dan tempat.

Penutup

Pluralisme sebagai salah satu tiang utama demokrasi belum menggembirakan dalam rentang 10 tahun reformasi Indonesia. Di satu pihak adanya kenyataan bahwa presiden yang berkuasa SBY cenderung dekat dengan partai-partai Islamis yang membuatnya tidak mampu bersikap tegas terhadap kecenderungan konservatifme yang berlebihan dan bahkan intimidasi dan kekerasan. Kenyataan ini berimplikasi bukan hanya pada pemerintah pusat melainkan membentuk sikap yang lebih ekstrim di kalangan pejabat dan politisi daerah. Jika di pusat hanya membiarkan terjadinya gejala tersebut, seringkali di daerah ikut menginisasi dan mendukung terjadinya hal tersebut. Semua fenomena tersebut mengaburkan dan bahkan mengancam konstitusi yang cukup tegas dan jelas akan karakter Indonesia sebagai negara Bhinneka Tunggal Ika dan memberi jaminan penuh terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa pandang bulu.

Jika hal demikian dibiarkan terus bukan tidak mungkin, kombinasi antara agresivitas dalam gerakan Islam fundamentalis dan konservatif dan penggerogotan melalui aturan-aturan yang sesungguhnya bertentangan dengan konstitusi, berlanjut pada set back, dalam praktik politik maupun terhadap perubahan konstitusi itu sendiri. Demokrasi di Indonesia, dengan demikian, sampai rentang 10 tahun sekarang ini, masih menyisakan lubang bagi terperosoknya negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini menjadi otoritarianisme berbasis agama. Ini jauh lebih mengkhawatirkan ketimbang otoritariansime yang hanya berbasis militer, karena agama bisa juga menjadi landasan bagi kembalinya militerisme ke tampuk kekuasaan, seperti pengalaman yang melanda Pakistan.

Pemerintah tidak ada jalan lain, kecuali memasang agenda secara konsisten untuk mem-break down konstitusi yang ada dengan membatalkan berbagai perundangan dan aturan yang ada sebelumnya yang bertentangan dengannya, dan menghindari adanya aturan-aturan baru yang bertentangan dengan konstitusi. Dalam waktu yang sama pemerintah dituntut untuk lebih tegas menegakkan hukum dan memperlakukan warga negara secara sama di depan hukum. Di situlah kunci sesungguhnya dari tegaknya kebebasan beragama dan berkeyakinan dan dengan demikian terjamin berlakunya demokrasi yang tidak hanya prosedural melainkan ditopang oleh budaya dan lingkungan demokrasi yang kuat. Dengan demikian pula cita-cita masyarakat yang adil dan makmur akan tercapai secara substansial.

Sebagai seorang yang terlibat di dalam gerakan GMP ini melalui keterlibatan saya di the Wahid Institute, saya menganggap bahwa gerakan ini merupakan kunci dalam menjaga masa depan Indonesia dan menjamin tegaknya demokrasi melalui penjaminan dan perlindungan terhadap pluralisme. Mereka yang tergabung dalam GMP yang menjadi salah satu elemen penting dari gerakan demokrasi, haruslah membuka diri untuk terlibat lebih dalam dalam politik keseharian dan membangun kultur dan aturan yang tangguh, dengan tetap berpegang pada prinsip dan landasan yang kokoh. Tanpa keterlibatan mereka yang lebih dalam isu-isu dan agenda politik keseharian akan dibajak oleh gerakan sebaliknya, fundamentalisme dan radikalisme. Saya sendiri tidak menutup kemungkinan untuk terlibat di dalam politik keseharian, termasuk partai politik, untuk mendukung tegaknya pluralisme. Dengan demikian, mobilisasi dukungan grassroots dan dana local (local resources) lebih bisa dicapai dengan lebih dekat. Harapan berikutnya adalah, pesimisme yang ada dengan maraknya gerakan anti-pluralisme yang bersifat kombinasi, mendapatkan imbangannya dalam diri GMP.

Ketelibatan saya di dalam gerakan ini cukup dalam, mengingat sejak awal tahun 1990an, begitu menyelesaikan S1 di IAIN Sunan Kalijaga, telah terlibat di dalam gerakan seperti ini melalui Interfidei (Interfaith Diloague) di Yogyakarta bersama dengan Dr. TH Sumartana (almarhum). Saya beruntung ikut terlibat langsung gerakan ini, karena mendapat topangan yang sangat kuat dari berbagai tokoh terkenal dan berpengaruh di Inodnesia ketika itu seperti Gus Dur atau Abdurrahman Wahid; Romo Mangunwijaya (almarhum); Djohan Effendi dan lainnya. Di bawah Orde Baru yang otoriter, anak-anak muda ketika itu, termasuk saya, mendapatkan perlindungan mereka dari kekejaman aparat Orde Baru. Namun, sebagai sebuah gerakan awal yang jauh dari jangkauan negara, ketika itu memang belum memiliki target-target terlalu jauh, misalnya ikut menentukan arah negara, perundang-undangan dan menempatkan tokoh-tokoh pluralis di dalam struktur politik negara. Kini saatnya, bagi penulis, gerakan GMP menempatkan agenda penempatan tokoh pluralis di dalam struktur kekuasaan, ikut menentukan perundang-undangan secara langsung, serta memobilisasi gerakan masyarakat dan dana untuk tujuan penegakan pluralisme itu sendiri, sebagai prioritas utama.***

Bahan Bacaan

Hefner, Robert W. 2000, Civil Islam Muslims and Democratization in Indonesia Princeton, Princeton University Press.
——– (ed.) 2005, “Introduction: Modernity and the Remaking of Muslim Politics” dalam Hefner R.W. (ed.) Remarking Muslim Politics, Pluralism, Contestation, Democratization Princeton, Princeton University Press.
Noor, Fariz A., 2006, Islam Progresif: Peluang, Tantangan, dan Masa Depannya di Asia Tenggara, Yogyakarta, SAMHA.
Roy, Olivier, 1995, Failure of Political Islam, Cambridge MA, Harvard University Press.
—–, 2004, Globalized Islam, The Search for A New Ummah New York, Columbia University Press.
Rumadi, Delik Penodaan Agama Dan Kehidupan Beragama dalam R-KUHP, The Wahid Institute-TIFA, Jakarta 2007.
Rumadi, 2006, Post Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, disertasi untuk PhD. di UIN Jakarta (tidak diterbitkan).
Safi, Omid (ed.), 2003, Progressive Muslims, On Justice, Gender, and Pluralism, Oxford, Oneworld.
Sajoo, Amyn B. (ed.), Civil Society in The Muslim World, Contemporary Perspectives, London, I.B. Tauris Publishers
Suaedy dkk., 2006, Kala Fatwa Jadi Penjara, The Wahid Institute, Jakarta 2006.
Suaedy dkk., 2007, Politisasi Agama Dan Konflik Komunal, The Wahid Institute,
Suaedy, 2007a, Gerakan Muslim Progresif Pska Rejim Suharto di Indonesia,” (laporan riset, tidak diterbitkan).
Van Zorge Report, January 29th 2008.

Klik untuk mengakses MonthlyReport-V-english.pdf

Klik untuk mengakses MonthlyReport-IV-english.pdf

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 19 April 2009 inci KARYA TULIS, MATERI KULIAH, REFERENSI

 

Tag: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,